“Kadang banyak orang teriak perubahan. Ingin mengubah orang - orang di sekitarnya, tapi dirinya sendiri tidak mampu berubah karena terbelenggu oleh rutinitas dan kemapanan..,” -Harmoko-
PERUBAHAN adalah kebutuhan dan keniscayaan. Sering dikatakan, tanpa perubahan, tiada kemajuan. Kita dapat meyakini, semua orang ingin berubah, rakyat Indonesia ingin berubah menuju lebih baik lagi. Perubahan milik semua. Tak heran, jika isu perubahan acap dijadikan sebuah slogan dalam kontestasi politik. Yang menjadi soal, apakah perubahan yang dilakukan itu menuju kebaikan atau menyisakan keburukan.
Pemilu legislatif, pemilihan presiden yang digelar serentak tahun 2024, disusul kemudian pilkada, tidak lain untuk melakukan perubahan kekuasaan eksekutif dan legislatif, dari tingkat pusat hingga daerah.
Pemilu untuk memproduksi kekuasaan. Outputnya akan menjadi baik, jika inputnya baik (di dalamnya terdapat kualitas SDM yang mumpuni untuk memimpin negeri kita ke depan), prosesnya juga baik, tanpa adanya kecurangan dan campur tangan untuk melanggengkan kekuasaan sekelompok orang demi kepentingan bisnis dan politiknya.
Selama input dan prosesnya belum sebagaimana diharapkan, perubahan yang terjadi hanya pada tataran pergantian kekuasaan, orang – orang yang memegang tampuk kekuasaan. Boleh jadi, beda rupa, tetapi bajunya sama.
Padahal perubahan yang kita harapkan, tentu, tak sebatas tampil beda menjadi lain dari semula, tetapi berganti arah, haluan dan kebijakan guna lebih memperbaiki keadaan.
Ini bukan berarti yang lalu tidaklah baik, tetapi yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Bukankah setiap era harus lebih baik dari sebelumnya.
Era baru dengan norma baru dan nilai - nilai baru perlu disiapkan untuk dijadikan dasar pijakan menyongsong pemerintahan baru mendatang. Pemerintahan yang tak hanya legitimate, juga aspiratif dan partisipatif. Pemerintahan yang mampu merangkul semua partisan tanpa pembedaan perlakuan. Meski keberagaman adalah kenyataan, tetapi bukan berarti membeda-bedakan keberagaman yang berujung kepada pengkotak-kotakan dan keterbelahan sosial. Tetapi bagaimana menyatukan kehidupan bangsa di atas keberagaman. Ber-Bhinneka Tunggal Ika, bukan sebatas slogan, tetapi tercermin dalam kehidupan yang semakin hari bertambah baik dan nyata.
Kita masih ingat, era baru dengan norma baru terbentuk setelah Pandemi Covid-19, yang ditandai dengan penerapan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari – hari. Minimal memakai masker, menjaga jarak dan terbiasa mencuci tangan dengan sabun sudah menjadi habit.
Tentu kita tidak berharap era baru dengan norma baru, terbentuk setelah terdapat bencana, trauma adanya badai ekonomi dan gempa politik.
Pitutur luhur mengajarkan “Jaman iku owah gingsir" zaman terus bergerak dan berubah, maka persiapkan diri untuk menyongsong perubahan, jangan berubah setelah dipaksa berubah karena keadaan.
Situasi pasar berubah, selera berubah, kehendak publik juga berubah. Aspirasi politik dan dukungan juga berubah. Itulah sebabnya, siapa pun dia, apakah lembaga pemerintahan, badan usaha, dan swasta, jika ingin memenangi persaingan, harus berubah. Begitu pun setiap individu yang memilih bersaing di pemilu, apakah para caleg, kandidat capres, dan calon kepala daerah.
Yang hendak saya katakan adalah perubahan harus dimulai dari setiap individu dari para elite, calon pemimpin bangsa ke depan. Mereka yang bersiap memegang tampuk kekuasaan, melalui perubahan sikap.
Setidaknya, yang pertama, mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan yang ada guna mendorong perubahan sosial menuju kemajuan, menciptakan kebaikan bagi semua anggota masyarakat.
Kedua, mampu membangun kebersamaan, mengingat perubahan akan berjalan dengan baik, jika adanya kebutuhan bersama, kehendak yang sama, dan hasilnya dinikmati bersama. Memberi manfaat bagi banyak orang.
Ketiga, menciptakan nilai dan norma baru yang lebih positif untuk menggerakkan kemajuan, kian terbentuknya integrasi sosial dan tumbuhnya kelompok – kelompok kreasi dan inovasi.
Keempat, mendorong terciptanya nuansa kehidupan masyarakat yang memiliki tingkat toleransi yang tinggi sebuah sikap yang memang dikembangkan sejak negeri ini didirikan.
Perubahan sikap ini harus menjadi wujud nyata dalam kehidupan sehari-hari. Jangan harap dapat mengubah orang lain, apalagi dunia, kalau diri sendiri tidak mau berubah. Tidak memulai perubahan, kata Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Kadang banyak orang teriak perubahan. Ingin mengubah orang - orang di sekitarnya, tapi dirinya sendiri tidak mampu berubah karena terbelenggu oleh rutinitas. Boleh jadi karena tak ingin terdepak dari kemapanan, zona yang selama ini memberinya kenyamanan karena dibentengi kekuasaan dan kekuatan.
Jika mengubah diri dan keluarga saja belum mampu, janganlah bermimpi mampu untuk mengubah negerimu apalagi dunia. (Azisoko)