Kampanye Kebaya Goes To Unesco Viral di Sosial Media, Simak Sejarahnya

Jumat 28 Okt 2022, 14:26 WIB
Kampanye Kebaya Goes To UNESCO viral di sosial media. (Instagram/@therealdisastr & @maudyayunda)

Kampanye Kebaya Goes To UNESCO viral di sosial media. (Instagram/@therealdisastr & @maudyayunda)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kampanye 'Kebaya Goes To UNESCO' viral di sosial media.

Gerakan tersebut menyuarakan dukungan agar kebaya menjadi warisan budaya tak benda versi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan, yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kebaya Goes To UNESCO pun didukung oleh berbagai lapisan masyarakat, salah satunya Dian Sastrowardoyo.

Hingga kini, sudah ada sekitar 12.000 unggahan dengan menyematkan tagar #KebayaGoesToUNESCO.

Lantas, seperti apa sejarah kebaya di Indonesia? Berikut informasi selengkapnya.

Kebaya mengalami perkembangan usai mendapat pengaruh dari budaya pakaian orang Jawa, India, Arab, China dan Portugis.

Sekitar abad ke-8 hingga ke-9, orang Indonesia sudah mengenal ‘kulambi’ yang berevolusi saat menjadi ‘klambi’ dalam bahasa Jawa berarti baju.

Hal ini berpengaruh pada gaya berpakaian kebaya yang bisa kamu lihat di relief Candi Prambanan atau prasasti lainnya.

Selanjutnya, asal kata kebaya berasal dari bahasa Arab "Abaya", yang artinya pakaian.

Kebaya sendiri dipercaya berasal dari daerah Tiongkok sejak ratusan tahun lalu, kemudian penggunaan kata kebaya mulai menyebar dari Jawa, Bali, Malaka, Sumatera hingga Sulawesi.

Sebelum tahun 1600, kebaya merupakan busana yang dipakai wanita Jawa, khususnya di daerah Yogyakarta, Surakarta, Jawa Tengah.

Sebagai contoh, kebaya yang digunakan R.A Kartini juga merupakan kebaya asal Jawa Tengah. 

Gaya Busana Kebaya Lewat Pengaruh Perempuan Eropa

 

Peserta KOWANI menggunakan kebaya. (tradisikebaya.id)

Kebaya berevolusi usai dikenakan para perempuan Eropa.

Pada tahun 1800-1949, kebaya menjadi busana semua kelas sosial, dengan penggunaan kain yang lebih bervariasi.

Model jahitannya pun makin berkembang, salah satunya menciptakan kebaya pendek.

Perempuan Eropa memberikan aksen Barat, berupa penggunaan kain yang lebih berkualitas.

Misalnya, pemilihan kain brokat dan bahan kain renda membuat busana Kebaya Jawa menjadi busana bergaya Eropa.  

Awal Abad ke-20 

Di awal abad ke-20, muncul Politik Etis atau Cultuur Stelsel di Indonesia.

Munculnya Cultuur Stelsel juga dirasakan langsung oleh perempuan Tionghoa, khususnya untuk mengikuti tren Kebaya milik perempuan Eropa.

Busana Kebaya khas Tionghoa terbuat dari kain berwarna merah menyala, dengan hiasan sulam berbentuk bunga atau binatang sebagai perlambangan busana tradisional China.

Kebaya juga tampil sebagai perwakilan tiga etnis perempuan yaitu Jawa, Eropa, dan Tionghoa.

Kala itu, perempuan Eropa mulai mengalami krisis identitas sebagai perempuan Eropa namun ingin menyesuaikan diri dengan Kebaya.

Perempuan Eropa di perkotaan seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang enggan mengenakan Kebaya karena takut kehilangan jati diri sebagai orang Eropa.

Namun, ada juga perempuan Eropa yang masih mau mengenakan kebaya dan sarung sebagai bentuk dari kebudayaan setempat.

Di pedalaman Jawa, masih banyak perempuan Eropa yang mengenakan kebaya.

Hal ini mengakibatkan pemerintah Belanda membuat kebijakan agar perempuan Eropa mau mendalami dan membekali diri dengan adat setempat.

Kebijakan tersebut mendorong Njonja (sebutan bagi perempuan Eropa), memiliki peran ganda sebagai orangtua dari anaknya dan orangtua dari pelayan Jawanya.

Njonja juga dituntut untuk dapat belajar Bahasa Melayu, dan mengenakan pakaian adat setempat, termasuk kebaya.

Di masa sekarang, kebaya banyak digunakan untuk berbagai kegiatan, seperti wisuda kelulusan, lamaran hingga pernikahan.

Nah, itu dia sejarah pakaian kebaya yang kini dikampanyekan sebagai Kebaya Goes To UNESCO, semoga bermanfaat ya.

(*)

Berita Terkait

News Update