“GLOBALISASI tidak bisa kita tolak, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi harus kita gunakan, tetapi bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memperkuat jati diri dan kemajuan negeri.” -Harmoko-
Tantangan pemuda zaman dulu tentu sangat berbeda dengan era kini. Namun, spirit perjuangan menuju Indonesia maju dan sejahtera sebagaimana makna Sumpah Pemuda, tidak boleh sirna. Bahkan, nilai – nilai kejuangan tidak boleh stagnan. Spirit harus selalu diupdate sesuai dengan perkembangan zaman dan selaras dengan jati diri bangsa.
Para leluhur Nuswantara telah meneladaninya. Dengan segala keterbatasan yang melingkupinya, pada zaman itu, tetapi mampu menyatukan negeri, bahkan ‘menguasai’ sejumlah negara tetangga hingga dunia pun terpana.
Jalan memang penuh liku, tetapi berkat perjuangan tanpa kenal lelah, kegigihan, ketekunan, keuletan, kedisiplinan, dan kejujuran serta kebersamaan tanpa prasangka membangun negeri, maka capaian prestasi bukanlah mimpi.
Karakter seperti ini pula yang terus terawat dan terjaga, senantiasa menjadi rujukan perjuangan hingga membuat para pemuda zaman dulu mampu menyatukan Indonesia melalui ikrar "Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Mampu menyatukan lebih dari 16.056 pulau menjadi satu tanah air. Mampu menyatukan lebih dari 1.340 suku menjadi satu bangsa. Mampu menyatukan lebih dari 718 bahasa daerah (lokal) menjadi satu bahasa.
Kini sudah terwujud satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dengan bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Kita tentu tidak ingin nilai Sumpah Pemuda terhapus oleh zaman. Nilai kebangsaan itu hanya dimaknai sebagai catatan sejarah. Penafsiran makna harus diaktualkan agar tidak terjadi lost generations.
Karakter kejuangan, adat dan adab budaya bangsa sebagai nilai – nilai luhur Nuswantara yang sudah termanifestasikan dalam Pancasila, sudah semestinya teraplikasi, bukan sebatas terucap dalam kata, apalagi retorika historia semata.
Meski begitu tidak dapat dihindari bahwa jaman iku owah gingsir – ruang, waktu, serta zaman akan selalu dinamis dan berubah. Jagad raya berubah, kita pun ikut berubah. Dunia tertutup awan gelap, kita pun terancam horor berbagai krisis, mulai dari pangan, energi, ekonomi keuangan, termasuk utang.
Perilaku dan gaya hidup masyarakat pun ikut berubah tergoda dengan arus globalisasi yang serba instan. Tidak dapat dipungkiri di perjalanan kian mengikis, memupusnya jiwa – jiwa Pancasila akibat pengaruh globalisasi dan budaya luar.
Gaya hidup mewah, hedonis, serba “wah” di tengah masyarakat yang sedang banyak tertimpa masalah, sering kali dipertontonkan di ruang publik. Ini cerminan kurangnya tepo saliro, tidak mengembangkan tenggang rasa dan tidak menghargai sisi kemanusian yang adil dan beradab karena sikapnya dapat memicu kecemburuan sosial.
Padahal, sebagai upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial, jiwa Pancasila tidak mengajarkan bersifat boros dan bergaya hidup mewah.
Itulah sebabnya sejak dulu, para leluhur Nuswantara mengajarkan “urip sak madyo. Ora usah neko-neko” – hidup secukupnya, sepantasnya. Tidak perlu berbuat yang aneh-aneh, macam-macam, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Urip sak madyo akan membawa kepada kejernihan pikiran dan ketenangan batin. Dapat membatasi diri dari perbuatan yang tidak semestinya. Menjauhi perbuatan yang melanggar norma, etika dan budaya. Mengelola emosi diri tidak tergoda menyalahgunakan wewenang, korupsi dan manipulasi. Ada keseimbangan antara lahir dan batin. Mampu mengharmonikan antara impian dengan kemampuan.
Sebaliknya yang neko - neko membuat hidupnya selalu resah gelisah, galau - kemrungsung karena tidak pernah merasa cukup, apa yang diperolehnya selalu dirasakan kurang. Di dalamnya terselip sifat iri kepada apa yang dimiliki orang lain. Ada rasa selalu ingin memiliki seperti yang dimiliki orang lain sehingga muncul pemaksaan kehendak dengan berbagai cara.
Globalisasi tidak bisa kita tolak, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi harus kita gunakan, tetapi bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memperkuat jati diri dan kemajuan negeri.
Kita tahu, sekitar 70 persen dari 210 juta pengguna internet adalah kawula muda, generasi digital dan milenial. Inilah perlunya menginisiasi dan mengedukasi agar generasi muda Indonesia harus tetap memiliki jati diri “berwawasan global tetapi harus berbudaya dan berbudi pekerti Nuswantara berlandaskan Pancasila.”
Maknanya, mampu menaklukkan teknologi informasi mutakhir untuk meningkatkan kualitas diri melalui kreasi dan inovasi. Bukan sebaliknya terbawa pengaruh arus digital sehingga kehilangan karakter nasional sebagai bangsa yang berbudaya dan bermoral Pancasila.
Ini tugas para elite, baik di pemerintahan, lembaga politik, ekonomi keuangan, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan, memberi keteladanan. Bukan hanya para tokoh elitnya, juga seluruh anggota keluarganya melalui ucapan, perbuatan dan kebijakan serta gaya hidupnya.
Dengan selalu memperkuat jati diri, dengan kiat yang telah dijabarkan melalui tulisan berseri ini (4 seri), kami percaya Nuswantara bisa jaya kembali, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo dan bahkan memimpin dunia ini menuju peradaban baru, peradaban yang lebih harmoni dan selaras berdasarkan Pancasila. Semoga. (Azisoko)