JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pegiat media sosial dan akademisi Ade Armando turut berkomentar soal Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu (1/10/2022).
Diketahui Tragedi Kanjuruhan terjadi pada laga pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 yang mempertemukan Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022). Malam derby Jawa Timur itu berakhir kelam usai pecah kerusuhan yang menewaskan ratusan korban.
Ade Armando menyoroti soal penembakan gas air mata di Tragedi Kanjuruhan yang diduga menjadi penyebab banyaknya korban. Ia juga mempertanyakan mengapa masyarakat dan media terkesan menyalahkan polisi atas peristiwa tersebut.
Ade Armando mengklaim tidak melihat apa yang dimaksud tindakan represif, pelanggaran HAM, dan ketidakprofesionalan anggota Polri di lapangan.
“Apakah polisi memukuli suporter, menganiaya, menembaki para pendukung Arema? Saya rasa tidak,” kata Ade Armando, dikutip dari kanal YouTube Cokro TV pada Selasa (4/10/2022).
Lantas terkait aturan FIFA yang melarang penembakan gas air mata untuk membubarkan massa suporter sepak bola, Ade Armando menyebut Polri bukan bagian dari FIFA. Menurutnya penembakan gas air mata itu sudah sesuai dengan prosedur.
“Sebagian pihak mengatakan bahwa FIFA jelas melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Pertanyaannya, apakah polisi Indonesia berada di bawah FIFA,” kata dia.
“Ketika polisi menggunakan gas air mata itu adalah tindakan sesuai protap ketika mereka harus mengendalikan kerusuhan yang mengancam jiwa,” lanjutnya.
Pegiat media sosial itu menegaskan bahwa pangkal masalah Tragedi Kanjuruhan adalah para Aremania (suporter Arema FC) yang melanggar aturan.
Ade Armando bahkan menyebut Aremania bergaya seperti preman dan masuk ke lapangan.
“Yang jadi pangkal masalah adalah suporter Arema yang sok jagoan melanggar peraturan stadion, dengan gaya preman masuk ke lapangan petentengan. Dalam pandangan saya polisi sudah melaksanakan kewajibannya,” kata Ade Armando.
Diketahui, FIFA selaku federasi sepak bola internasional memang melarang penggunaan gas air mata untuk membubarkan massa supporter sepak bola atau menanggulangi kerusuhan suporter. Hal ini tertuang dalam pasal 19 aturan FIFA soal Stadium Safety and Security Regulations.
Dalam aturan tersebut dijabarkan penggunaan gas air mata dan senjata api untuk pengendalian massa dilarang.
Sementara penembakan gas air mata yang dilakukan aparat diduga menjadi pemicu ratusan korban berjatuhan di Tragedi Kanjuruhan.
Peristiwa itu diawali dengan sejumlah Aremania (suporter Arema) yang kecewa dengan kekalahan tim kesayangannya di kandang. Lantas, mereka menyerbu ke lapangan usai peluit panjang dibunyikan. Tidak ada insiden bentrok antar suporter pada peristiwa ini.
Namun, untuk menindak aksi para suporter tersebut, pihak keamanan justru menembak gas air mata. Hal ini yang lalu diduga menjadi pemicu banyaknya korban jiwa di Tragedi Kanjuruhan.
Laporan Polri menyebut korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan berjumlah 125 orang, dan 323 luka-luka. Namun, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak menyebut korban tewas di datanya berjumlah 131 orang. (*)