ADVERTISEMENT

Prasati Padrao Beberkan Bukti Kerjasama Internasional Pertama yang Terjadi di Nusantara

Sabtu, 1 Oktober 2022 21:38 WIB

Share
Prasasti Padrao yang ada di Museum Nasional. (andi adam faturahman)
Prasasti Padrao yang ada di Museum Nasional. (andi adam faturahman)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Indonesia telah menjalin kerja sama bilateral internasional dengan sekitar 162 negara yang ada di dunia.

Namun, pernahkan kita mengetahui kapan kerjasama internasional Indonesia pertama kali dilakukan?

Pada tahun 1522 silam, kala itu Indonesia masih bernama Nusantara dan terpecah menjadi beberapa Kerajaan yang ada.

Di tahun tersebut lah kerja sama internasional antara Indonesia (red: Nusantara) pertama kali terjadi dengan Kerajaan Sunda dan Portugis yang menjadi representasi terjalinnya kerja sama tersebut.

Adapun kerja sama tersebut dicatatkan dengan dibuatnya sebuah Prasasti Padrao yang menjadi bukti penanda telah terjalinnya kerja sama internasional antara Kerajaan Sunda (Padjajaran) dengan Portugis dengan diwakili oleh Pangeran Surawisesa dan Henrique Leme.

Selain itu, Prasasti Padrao juga menjadi bukti pembangunan Sunda Kelapa sebagai salah satu zona ekonomi pada masa itu.

Awal Mula Perjanjian

Terdesaknya Kerajaan Sunda yang menganut agama Hindu dan beribukota di Pakuan Padjajaran, sebetulnya sudah diantisipasi oleh Sri Baduga Maharaja.

Bentuk antisipasinya, yakni adalah menjalin kerja sama dengan Portugis.

Bahkan Surawisesa sendiri yang dua kali diutus pergi ke Malaka menemui Portugis.

Pada 1512, dikutip Hageman dalam Geschiedenis der Sundalanden, menyebutkan ada raja Sunda bernama Samiam datang ke Malaka untuk merundingkan urusan dagang dengan Alfonso d’Albouquerque.

Pada 1521, raja tersebut datang untuk yang kedua kali.

Karena tertarik menjalin hubungan dagang dengan Sunda, maka Alfonso d’Albouquerque mengutus iparnya, Henrique de Leme, untuk memimpin utusan Portugis pergi ke ibukota Sunda pada 1522.

Dalam teks yang ditulis orang Portugis itu, ada penumpukan informasi yang bisa mengacaukan persepsi sejarah.

Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi menjelaskan bahwa berita Portugis tersebut ditulis dengan jarak yang cukup jauh dari kejadiannya.

Mereka menuliskan nama disekaliguskan. Ratu Samiam yang datang ke Malaka pada 1512 dan 1521 disebut “Red e Zunda” (Raja Sunda).

Padahal, pada tahun-tahun tersebut, Samiam atau Surawisesa, masih sebagai putra mahkota.

Sedangkan pada 1522, ketika utusan Portugis melakukan kunjungan balasan, Samiam telah menggantikan ayahnya sebagai Raja Sunda.

Saleh Danasasmita menambahkan, bahwa secara logika tidak mungkin seorang raja pergi berlayar mengarungi samudra yang penuh marabahaya hanya untuk misi dagang dan kerjasama.

Jadi menurutnya, yang pergi ke Malaka adalah Samiam/Surawisesa yang diutus oleh ayahnya.

Saat itu, dalam analisis Saleh Danasasmita, ia belum menjadi raja.

Kedatangan utusan Portugis pada 21 Agustus 1522, silam kemudian menghasilkan perjanjian kerja sama yang diabadikan dalam padrao yang tinggalannya masih bisa dilihat sampai sekarang.

Perjanjian tersebut bersifat internasional. Naskah perjanjian dibuat rangkap dua (in duplo), dan masing-masing pihak memegang satu lembar.

“Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield,” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu), tulis Hageman dari sumber Portugis yang ia kutip.

Isi perjanjian tersebut di antaranya ialah, pertama, Sunda dalam jangka waktu setahun akan memberikan 1.000 karung merica yang ditukar oleh Portugis dengan barang-barang kebutuhan pihak Sunda.

Kedua, Portugis diizinkan untuk mendirikan benteng di Pelabuhan Kalapa (Sunda Kelapa).

Selain itu, ada satu perjanjian yang sifatnya rahasia, yaitu Sunda dan Portugis akan bersama-sama menghadapi Demak yang mulai merangsek ke barat.

Lebih jauh, Prasasti yang memiliki ketinggian sekitar 2,5 meter dengan 4 sisi itu, kini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama dengan kawasan Pasar Baru dan batu kiser penggiling tebu.

Adapun, Prasasti Padrao saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris 18423/26. (adam)

ADVERTISEMENT

Reporter: Andi Adam Faturahman
Editor: Sumiyati
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT