Kopi Pagi

Menjiwai Pancasila

Kamis 29 Sep 2022, 06:30 WIB

“Menjiwai Pancasila sepenuh hati, bukan setengah hati. Pancasila tak menjadi teks mati di atas kertas dan lembaran menempel di dinding. Bukan semata - mata hafalan anak sekolah dan bagian dari seremonial belaka..” -Harmoko-
 
Di negara manapun, potensi disintegrasi tetap ada dan akan selalu ada. Lebih – lebih negeri kita yang sejak awal kelahirannya sudah penuh dengan keberagaman suku, agama dan adat budayanya. Namun, keberagaman ini di sisi lain menjadi perekat kesatuan dan persatuan sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Alat perekatnya, tak lain Pancasila sebagai ideologi, landasan dan falsafah hidup bangsa yang mampu menyatukan keberagaman dalam bingkai NKRI.

Berbagai peristiwa telah mewarnai perjalanan sejarah bangsa semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga saat ini. Pancasila pun telah berulang kali teruji sebagai Dasar Negara tidak pernah sekalipun tergoyahkan.
Itulah satu makna kesaktian Pancasila yang telah kita resapi, cermati dan dalami sebagai momen penting dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan negara.

Peringatan Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober) tahun ini menjadi momen penting, bagaimana kita kembali merenung kepada diri sendiri, sudahkah mengamalkan nilai – nilai luhur jati diri bangsa kita, sudahkah mengaplikasikannya dalam dalam kehidupan sehari – hari.

Hening merenung berarti berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengoreksi diri sendiri dengan penuh kejujuran dan keikhlasan, kemudian memahami peran kita masing - masing di semesta ini dan memperbaiki apa yang kurang baik untuk kemajuan NKRI. 

Dalam hal menyongsong hajat besar pemilu serentak 2024, dengan harapan saat pesta demokrasi digelar, semua pihak tetap berpegang teguh menjalankan Demokrasi Pancasila yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Terdapat 36 butir sikap dan perilaku yang wajib menjadi rujukan dalam menjalankan praktik politik, mulai dari membangun komunikasi politik, sosialisasi, manuver hingga sasaran target.

Mencermati dinamika politik belakangan ini, terdapat kegalauan dari sementara kalangan dengan kian merebaknya politisasi identitas yang berbau SARA masuk atau terseret, bisa jadi sengaja diseret- seret ke dalam ranah politik praktis.

Sudah sering disarankan agar para elite parpol, caleg, kandidat capres ataupun calon kepala daerah tidak menggunakan cara – cara politik identitas, tetapi faktanya dari pemilu ke pemilu, isu – isu soal identitas tetaplah merebak. Alasannya klasik, isu ini paling laku dijual karena menggugah ikatan emosional.

Di sisi lain, parpol kita terpecah pada basis kekuatan nasionalis dan religius. Itulah sebabnya menggabungkan dua kekuatan parpol berbasis nasionalis dan religius dengan membentuk koalisi mengusung capres, bagian dari upaya menyatukan dua kekuatan yang berbeda latar belakang, menyatukan keberagaman.

Bagunan koalisi akan menjadi kokoh dan kuat, dengan syarat; Pertama, masing – masing parpol melepaskan ego sektoral, merasa dirinya paling kuat dan hebat, banyak peminat. Kedua, menghargai dan menghormati perbedaan dan latar belakang karakter massanya, pendukungnya.

Sikap saling menghargai ini tidak hanya di level atas, petinggi dan elit parpol, tetapi hingga ke akar rumput. Jika tidak, bangunan koalisi hanya sesaat, untuk memenangkan capresnya, setelah itu kembali ke habitat politiknya. Boleh jadi, lebih terbelah dan terpecah karena salah satu pihak merasa tersakiti, dikhianati.

Diperlukan keteladanan tokoh berpengaruh dengan mengedepankan toleransi, tenggang rasa, tepo saliro, tidak semena- mena, tidak memaksakan kehendak dan pendapat parpolnya yang paling benar.

Bukan pula saling memprovokasi, apalagi menebarkan sikap saling membenci dan menyakiti. Sebab, tak ada orang yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Ingat! Kita tidak dilahirkan untuk saling menyakiti.

Keteladanan melalui aksi nyata perlu diawali dari para elite politik dan pemerintahan, tokoh agama dan masyarakat melalui ucapan dan perilakunya dalam kehidupan sehari – hari seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Tentu sikap menghargai keberagaman, dengan tidak mengungkit perbedaan akibat keberagaman.

Kembali kepada jati diri, dengan menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan sebagaimana butir pertama pengamalan sila ketiga Pancasila.
Bagaimana menghidupkan Pancasila dalam jiwa kita, termasuk ketika menjalankan praktik politik jelang pilpres, itulah tantangan aktual sekarang ini, agar Pancasila tak menjadi teks mati di atas kertas dan lembaran menempel di dinding. Bukan semata - mata hafalan anak sekolah dan bagian dari seremonial belaka.

Mari setia kepada Pancasila dengan sepenuh hati, bukan setengah hati. Mari kita mewarisi Pancasila dengan nilai- nilainya sebagai ideologi yang hidup, bukan slogan semata, melainkan petunjuk lengkap bagaimana kehidupan sehari - hari kita dilakukan. Bukan saja untuk masa sekarang dan mendatang, tapi sampai nanti, tanpa batas waktu, selama NKRI berdiri. (Azisoko)

Tags:
pancasilamenjiwaiKopi pagi Harmoko

Administrator

Reporter

Administrator

Editor