Rekayasa Tebar Pesona

Senin 05 Sep 2022, 06:01 WIB

KANDIDAT hendaknya peduli kepada rakyat, mereka yang melarat, terjerat beban hidupnya karena keterbatasan kemampuan, bukan kepada penguasa ataupun konglomerat yang memiliki kelebihan kemampuan..” – Harmoko 
 
Beragam aksi dilakukan politikus negeri ini menyongsong kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Mulai dari aksi “blusukan” untuk menarik perhatian dan kritikan, hingga memposting kegiatan “uniknya” di akun media sosial menjadi (berharap) viral. Tebar pesona sepertinya kian masif dilakukan para kandidat capres guna menaikkan popularitas dan elektabilitas.

Aksi ini sah-sah saja. Tak ada larangan ataupun halangan lebih-lebih bagi kandidat yang memiliki kekuasaan dan kemampuan. Sebut saja yang sekarang menjabat menteri, gubernur, dan pemimpin partai politik.

Tampak menggelitik, jika pesona yang ditebar kebablasan, keluar dari tugas dan tanggung jawabnya. Terkesan mengada-ada, jika tidak mau disebut rekayasa, kalau agenda seremonial cukup dihadiri pejabat setingkat camat ataupun lurah.

Publik paham betul mencermati fenomena tebar pesona semacam ini, tetapi di sisi lain rakyat menyambutnya dengan hati riang kepada pejabat yang mau dekat dengan rakyat, bersedia dengan susah  payah mengunjungi dan menyapa rakyatnya. Ini gambaran bahwa rakyat selama ini “haus kasih sayang”, dari para pemimpinnya.

Pejabat yang peduli rakyat itulah kriteria pemimpin masa depan harapan bangsa. Bukan peduli kepada dirinya, keluarganya, kerabatnya dan kelompoknya. Bukan pemimpin yang membangun kekuatan untuk melanggengkan kekuasan, dengan memanipulasi dukungan publik.

Tebar pesona adalah aksi nyata mencari dukungan. Tak jarang, para elite, secara riil membangun simpati, bahkan empati yang murni dari dalam diri, bukan manipulasi. Publik pun paham betul mana yang nyata dan sebatas rekayasa.

Yang repot, jika sebagian publik tergoda tebar pesona, yang seolah nyata, tetapi rekayasa adanya untuk ke depannya. Sikap peduli yang dibangun meraih simpati dan empati hanya untuk saat ini, jelang gelaran pilpres dan pemilu, tetapi tidak untuk nanti, setelah jadi (terpilih).

Ini yang disebut kepeduliaan sesaat, meski tidak disebut sesat. Kepedulian tanpa  kelanggengan, jika tidak ingin disebut setingan.

Dengan alasan keterbatasan, maka tidak mampu memenuhi semua aspirasi yang disampaikan dalam waktu yang bersamaan. Karena keterbatasan anggaran pula, tidak semuanya diprioritaskan, termasuk mengabaikan yang pernah dijanjikan.
Semakin ironi, jika visi – misi yang menjadikan rakyat memilih – memberikan mandat, pada akhirnya hanya tegas di atas kertas, tetapi minim realitas.

Dalam era kekinian, di tengah beragam ancaman krisis pangan, energi dan ekonomi, sikap peduli membangun negeri menjadi solusi.

Sikap para kandidat capres peduli rakyat sebenarnya awal yang baik agar lebih memahami apa yang menjadi kehendak rakyat. Mencarikan solusi guna memberdayakan mereka yang terpinggirkan dan tersingkirkan.

Meski awalnya sebatas tebar pesona, tetapi hendaknya menjadi upaya nyata sepanjang masa jabatannya untuk terus membangun kemajuan bangsa. Mengentaskan kemiskinan, mempersempit jurang kesenjangan yang kini kian menganga guna mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran sebagaimana cita – cita sejak Indonesia merdeka.

Bung Hatta pernah berpesan:  Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.

Poin penting pesan Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia ini, yakni bagaimana kita terus menjaga persatuan dan meningkatkan kepedulian.

Persatuan berarti bersatunya beragam corak – beraneka ragam latar belakang menjadi satu kesatuan yang utuh.

Kepedulian adalah sikap memperhatikan, proaktif, adanya keberpihakan terhadap kondisi yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Peduli kepada rakyat, mereka yang melarat, terjerat beban hidupnya karena keterbatasan kemampuan, bukan kepada pejabat ataupun konglomerat yang memiliki kelebihan kemampuan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Filosofi Jawa mengajarkan agar kita senantiasa membangun kepedulian demi ketentraman. "Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara”.

Hendaknya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Pesan moral untuk kita semua, termasuk para kandidat yang sekarang membangun citra, di antaranya melalui tebar pesona.

Harapannya apa yang ditebarkan menjadi langgeng dan nyata menyejahterakan bangsa dan negara. Bukan tebar pesona yang berujung derita dan nelangsa. Semoga. (Azisoko)

Berita Terkait

Jebakan Politik

Senin 19 Sep 2022, 06:00 WIB
undefined

Komitmen Nasional

Senin 26 Sep 2022, 06:00 WIB
undefined
News Update