“DITUNTUT kemampuan politisi mengemas isu identitas secara lebih beradab, bukan mempolitisasi identitas secara ekstrem, dalam meraih simpati publik.”- Harmoko
Bulan Agustus segera berakhir, tetapi momen "Agustusan” yang penuh semangat patriotisme dan nasionalisme harus terus berlanjut. Bulan kemerdekaan boleh berganti, tetapi kewajiban mengisi kemerdekaan harus tetap tertanam dalam sanubari setiap anak negeri tanpa batasan waktu. Dengan apapun situasi yang sedang dan bakal terjadi.
Itulah sebabnya, identitas nasional bangsa dan negara wajib kita rawat dan jaga bersama. Berkepribadian Indonesia yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai NKRI, terus kita mantapkan sebagai bagian tak terpisahkan dalam upaya mengisi kemerdekaan, membangun negeri yang “tata tentrem kerta raharjo” – terciptanya masyarakat yang tertib, tentram, dan sejahtera serta berkecukupan dalam segala urusannya.
Negeri yang “baldatun thayyibatun" – negeri yang baik, makmur, maju dan sejahtera. Dapat dikatakan, maju negerinya, sejahtera dan bahagia rakyatnya. Terdapat keharmonisan antara pemimpin dengan rakyatnya, terjalin pula komunikasi yang harmonis sesama warga masyarakat.
Di sisi lain, di tengah euforia kemerdekaan, sepanjang bulan ini pun ditandai dinamika politik yang perlu mendapat perhatian agar tidak terjebak kepada masa lalu yang begitu kelabu. Salah satunya politik identitas kembali dimunculkan, banyak dikupas dan dibahas, seolah tak pernah tuntas.
Politik identitas dikecam karena dimaknai dapat memecah belah, menimbulkan pertentangan dan permusuhan yang pada akhirnya akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Dulu, politik identitas dalam arti identitas bangsa dibangun untuk menggerakkan perjuangan mengusir penjajah. Pada zaman penjajahan, rakyat mampu bersatu karena memiliki satu identitas, yakni banga Indonesia. Dengan semangat identitas itulah, kita mampu mendirikan negeri yang merdeka dan berdaulat hingga saat ini.
Kini, eranya berbeda. Karena salah mengelola, politik identitas membuat masyarakat terpecah. Gelaran Pilpres tahun 2014 yang berlanjut ke pilpres 2019, ditambah lagi Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, bisa menjadi acuan terbelahnya dukungan hingga masuk ke dalam kehidupan sehari – hari.
Hingga sekarang terbelahnya dua kubu saling bertentangan sangat terasakan, tak hanya dalam perilaku politik, juga kehidupan sosial budaya yang sangat mengancam stabilitas nasional.
Ironis, perbedaan yang dulu pernah menjadi satu kekuatan menyatukan bangsa membangun identitas nasionalnya, sekarang perbedaan dijadikan alat berpolitik guna mencapai tujuan.
Telah diakui dunia, keberagaman etnis, suku, agama, budaya adalah keunikan identitas bangsa dan negara kita. Keberagaman inilah yang membuat negara kita kuat dan hebat. Sering dikatakan keberagaman dalam persatuan dan kesatuan.
Kalau kemudian aktor politik mengusung kesamaan identitas, memperjuangkan etnisnya, memajukan kelompoknya, agamanya, sosial budayanya adalah sah – saja saja. Tak ubahnya para elite memperjuangkan daerahnya karena adanya ikatan geografisnya. Melakukan pendekatan karena kesamaan profesinya, alumninya dan seterusnya.
Apakah ini salah? Jawabnya tidaklah salah. Yang salah jika menggunakan identitas kelompoknya untuk menyerang identitas kelompok lain. Menghasut, menebar kebencian dan memusuhi kelompok lain secara ekstrem, sering kali disertai kekerasan, hanya semata karena beda identitas.
Identitas dipolitisasi untuk mengerek elektabilitas. Inilah sejatinya yang perlu dicegah, bukan “mengharamkan” politik identitas. Mengingat dalam demokrasi tak bisa sepenuhnya bebas dari isu identitas.
Apalagi di negara kita, di negara maju demokrasinya seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, isu identitas dalam versi berbeda tetap mewarnai gelaran pilpres. Sebut saja keberadaan imigran, soal aborsi, hijab dan cadar.
Para aktor politik tampaknya sadar, untuk meraih kemenangan tak cukup hanya mengandalkan adu gagasan dan program seperti menghapus kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan. Itulah sebabnya akan menjadi mustahil isu identitas akan hilang setiap pemilu dan pilpres.
Yang dituntut kemudian adalah kemampuan politisi mengemas isu identitas secara lebih beradab, bukan mempolitisasi identitas secara ekstrem dalam meraih simpati publik seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Bermain cantik dan penuh etik dengan mengemas identitas nasional guna memperoleh dukungan pemilih plural. Yang berarti merawat keberagaman, menghargai perbedaan dengan melindungi dan memperjuangkan semua kepentingan kelompok, semua identitas etnis, suku, agama dan sosial budayanya.
Tidak semena- mena kepada pihak/kelompok lain, tanpa membedakan perlakuan, tanpa menonjolkan kekuasaan dan kekuatan, tidak “adigang, adigung lan adiguno” itulah sekarang yang didambakan rakyat sebagaimana semangat nasionalisme membangun bangsa mengisi kemerdekaan.
Itu pula pekerjaan rumah para elite, bagaimana mengemasnya, jika ingin memenangkan kontestasi. Belum terlambat untuk memulai. (Azisoko)