RUPANYA saat ini masih pada demam lagu Ojo Dibandingke yang dinyanyikan bocah 12 tahun, Farel Prayoga, saat menggoyang Istana Merdeka untuk perayaan HUT ke-77 Kemerdekaan RI. Dimana-mana banyak yang melantunkan lagu itu.
Demam lagu u Ojo Dibandingke yang disenandungkan Farel tampaknya masih akan cukup lama, paling tidak seminggu ke depan.Sekarang saja, televisi berebut mendatangkan Farel untuk memanggungkan bocah yang mulanya pengamen itu.
Ya, Farel adalah potret rakyat kecil, lagu Ojo Dibandingke bisa dipersepsikan sebagai kesenian rakyat. Bukan kesenian adiluhung semacam yang berasal dari keraton atau Istana. Kali ini kesenian rakyat memang dominan dalam perayaan di Istana.
Meski dari kesenian rakyat, tapi mampu menggerakkan hati para petinggi dan disukai. Maka ketika lagu Ojo Dibandingke dari Farel Prayoga yang notabnene sebagai kesenian rakyat menggoyang Istana, dunia seni adiluhung jangan tersinggung. Ini karena, ya katakankan wis tekan jamane, wis tekan titi wancine, alias sudah datang zamannya.
Kesenian rakyat adalah istilah antropologi, sebagaimana digunakan oleh bapak antropologi Indonesia, almarhum Profesor Koentjaraningrat. Kesenian rakyat bisa mudah dipahami ketika dikontraskan dengan kesenian adiluhung, dalam pengertian jaman kerajaan di Jawa dulu..
Prof Koen dalam uraiannya mengatakan, wilayah kesenian adiluhung meliputi daerah inti kerajaan yakni sekitar kraton Yogyakarta atau keraton Surakarta (Solo), yang kemudiam disebut dengan istilah negarigung.
Demikian demikian kesenian adiluhung adalah kesenian yang hidup di lingkungan negarigung, oleh para seniman berafiliasi langsung ke keraton, diniikmati oleh kalangan yang diasosiasikan dengan seni halu dan unggul, untuk ukuran saat itu.
Adapaun kesenian rakyat, adalah kesenian yang dijalankan rakyat kebanyakan di wilayah luar negari gung, yakni wilayah yang disebut manca nagri..
Ini merupakan kesenian masyarakat umum yang ciri-cirinya berkebalikan dengan kesenian negarai gung yang halus, lembut, dan unggul. Kesenian rakyat dipersepsikan sebagai kesenian yang kasar dan kurang unggul.
Tari-tari kraton adalah contoh kesenian adilihung, sedangkan kesenian seperti kuda lumping, reyog Ponorogo, dipersepsikan sebagai kesenian rakyat.
Perjalanan waktu memang membawa perubahan. Kesenian adiluhung keraton makin menciut pendukungnya, meski keadiluhungannya tetap diakui. Setelah jaman republik perubahan itu terus berlangsung.
Tembang-tembang campursari yang belakangan lebih terasa ngepop, terutama dengan koplo, adalah perkembangan yang dilihat sebagai sosok kesenian rakyat, namun makin berkibar, dan kesenian adiluhung makin sulit diikuti di masyarakat luas.
Tembang-tembang campur sari saata ini memang perkembangan yang sudah jauh, saat di era pengarang top Manthous, kesan lembutnya masih sangat terasa.
Ketika di era Didi Kempot, rasa pop dalam campursari begitu kental, kosa kata bahasa Inoonesia cukup banyak masuk, dan ternyata sangat disukai kalangan muda, hingga cewek-cewek berjilbab pun begitu asyik menikmati.
Ojo Dibandingke masuk dalam kategori ini, dan bahasanya jauh lebih keseharian dibandingkan lagu-lagu Didi Kempot. Bahkan kosa kata Bahasa Indonesia cukup mewarnai. Ini boleh dikata 'politik' seniman Jawa untuk meraih pasar lebih luas.
Toh, zaman dulu, pujangga-pujangga kraton banyak menyerap bahasa Belanda, di era sastra Jawa Kuno banyak menyerap bahasa Sanskerta.
Kembali ke Ojo Dibandingke yang dilantunkan Farel Prayoga yang begitu mengagumkan,adalah gambaran kesenian rakyat yang masuk ke Istana sebagai jantung kebudayaan tinggi.
Dulu, yang biasa menyanyikan lagu-lagu di Istana adalah para penyanyi papan atas, kemudian ada musik simfoni orkestra yang elegan, itu sebut saja karana eranya memang begitu. Keagungan musik simfoni disaksikan tamu-tamu agung, didengarkan dalam suasani yang tenang,dan baru ada tepuk tangan kalau usai lagu.
Tampaknya, soal kesenian rakyat masuk Istana juga dipengaruhi adanya demokratisasi. Dulu susah menerima ada reyog Ponorogo dan aneka tari, serta lagu rakyat di Istana untuk perayaan Hari Kemerdekaan. Untuk seni wayang kulit, ini termasuk adiluhung, konon di era Bung Karno pernah digelar di Istana, lantas di era Presiden SBY, kemudian era Preiden Jokowi. Di era yang terakhir ini wayang digelar di halaman Istana, disi juga dengan penyanyi Didi Kempot.
Kesenian rakyat masuk Istana, karena demokratisi, yakni berkait dengan rakyat banyak, penguasa membutuhkan dukungan rakyat banyak. Lagu campursari, pun seperti Ojo Dibandingke, adalah kesenian rakyat banyak, sesuai dengan era demokrasi, penguasa harus merangkut rakyat banyak, menghadirkan rakyat banyat.
Untuk kali ini benar-benar sangat sesuai kebutuhan, lagu Ojo Dibadingke lagi hits, Farel Prayoga juga naik daun. Dan ternyata aksinya di depan Presiden Jokowi dan semua tamu undangan, bisa ditermia (mungkin minus yang tua-tua).
Dan ternyata pula, Farel Prayoga dengan Ojo Dibandingke, mampu menyatukan hari dan perasaan, mayoritas bahagia, Pak Jokowi semringah. Ibu Negara bergoyang, para menteri berjoget, bapak-bapak jenderal juga bergoyang. Ternyata lagi, yang mampu menyatukan rasa dan bahagia itu adalah anak kecil, mungkin karena oisinal, dan memang menghibur. (*/win)