JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kasus gagalnya calon siswa Bintara Polri, Fahri Fadilah Nur Rizki (21), turut menyita perhatian publik.
Terlebih, dengan beredarnya video pengakuan Fahri bahwa ia namanya sempat hilang dan diganti calon siswa lain untuk masuk pendidikan Polri.
Terkait hal ini, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melalui Ketua Harian, yakni Benny Mamoto pun angkat suara dengan memberikan klarifikasi ihwal gagalnya Fahri melenggang menjadi anggota Bintara Polri.
“Sehubungan dengan adanya video viral menyangkut penerimaan calon Bintara Brimob, Kompolnas telah lakukan klarifikasi. Dan hasilnya memang yang bersangkutan tidak memenuhi syarat karena ada masalah kesehatan matanya," kata Benny saat dihubungi, Rabu (1/6/2022).
"Oleh sebab itu, kami dari Kompolnas melihat prosesnya sudah cukup transparan," lanjutnya.
Benny memaparkan, bahwa Fahri memang betul pernah mengikuti seleksi calon Bintara Polri sebanyak 3 kali hingga di tahun 2022 ini. Dan di dua tahun sebelumnya pun, Fahri memang dinyatakan gagal karena masalah kesehatan mata.
Dia melanjutkan, di tahun ketiganya atau tahun 2022 ini, Fahri memang dinyatakan lulus seleksi calon Bintara Polri. Namun, dalam satu tahapan lain, yakni supervisi, Fahri beserta 4 rekannya sesama calon siswa Bintara Polri dinyatakan tak lulus berdasarkan hasil supervisi di pusat.
“Ketika yang bersangkutan melaksanakan pembinaan latihan di Polres Metro Jakarta Timur, dilakukan supervisi oleh tim dari pusat. Hasilnya, ternyata ada lima orang calon siswa yang tidak memenuhi syarat termasuk yang bersangkutan,” ujar dia.
Benny mengatakan, bahwa Fahri dinyatakan tak memenuhi syarat lantaran didiagnosa memiliki buta warna parsial. Dan hal ini pun, ucap dia, telah dilakukan pengecekan ulang di hadapan orang tua Fahri untuk menjaga transparansi Polri.
“Sebab itu sudah dilakukan upaya secara transparan yaitu pengecekan ulang pemeriksaan kesehatan di rumah sakit yang berbeda, dengan dihadiri orang tua yang bersangkutan,” papar dia.
Sementara itu, anggota Ombudsman, Adrianus Meilala juga mengatakan bahwa apa yang telah diputuskan oleh Polri dalam perkara Fahri ini telah dilakukan sesuai dengan standar yang ada nan transparan.
Menurut Adrian, dalam kaca mata pemikirannya, perihal peringkat yang diperoleh Fahri tidak serta merta dapat menjamin dirinya diterima sebagai anggota Polri.
"Setahu saya, ranking memang diinfokan kepada peserta tes, tapi semua harus berasumsi bahwa ranking itu belum pasti mengingat hal-hal yang antara lain bisa terjadi pada calon tersebut. Jadi jangan over confidence, karena toh belum ada keputusan yang membuat Polri harus menerima," kata Adrian.
Adrian melanjutkan, terkait dengan pemeriksaan kesehatan (rikkes), memanglah dilakukan dalam 2 tahap, yakni tahap 2 memiliki sifat penguji hasil rikkes di tahap 1.
"Dalam hal ini semua calon kan di tes ulang, tentu saja calon harus menerima kalau keputusan panitia berbeda dengan sebelumnya," imbuhnya.
"Dan setahu saya, hasil rikkes tahap 2 itu dikomunikasikan kepada calon. Pada tahap 1 juga begitu. Maka, menurut saya, tidak pas jika calon itu dalam videonya seolah-olah mengatakan tidak tahu apa penyebab ketidaklulusannya," sambung dia.
Selain itu, dia juga mengatakan tak relevan apabila disebut telah terjadi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh Polri dalam perkara ini. Sebab menurutnya, pengganti calon yang gugur diambil dari calon peringkat bawah yang sebenarnya lulus namun tidak bisa berangkat karena keterbatasan kuota.
"Itu jumlahnya banyak. Bagi banyak orang, mereka mungkin diketahui gagal padahal mereka lulus namun tidak terpilih untuk berangkat," tutur dia.
Dia berpendapat, dalam perkara ini telah terjadi suatu miskomunikasi yang perlu dijernihkan oleh Kepolisian. Pasalnya, persoalan ini akan sangat dengan mudah memunculkan citra buruk menyangkut prinsip BETAH terkait penerimaan personel.
"Dengan asumsi yang saya paparkan di atas. Saya tidak setuju jika akhirnya calon diterima. Nanti proses seleksi Polri tidak dianggap berwibawa dan mudah digoyang," tutup dia. (adam)