Pemimpin wajib menyerap aspirasi rakyat baik yang terlihat secara nyata maupun tersamar. Karenanya, pemimpin harus pula mampu merasakan derita rakyat, dan denyut nadi masyarakat. - Harmoko
NEGERI kita kaya akan beragam budaya bangsa, terdapat ribuan warisan budaya, satu di antaranya wayang yang oleh UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan) PBB, disebut sebagai warisan mahakarya dunia asli Indonesia yang tak ternilai.
Pertunjukan wayang kulit - sering disebut ringgit purwo tak sebatas sebagai media hiburan dan informasi, juga pendidikan karena di dalamnya sarat dengan pesan-pesan moral dan kritik sosial. Tidak perlu kita perdebatkan lagi hukumnya wayang, seperti yang sedang ramai saat ini.
Wayang dengan tokoh-tokohnya merupakan gambaran kehidupan manusia secara konkret beserta norma-norma yang hidup di dalamnya. Dengan sifat karakternya yang cukup beragam dan unik sebagaimana manusia baik secara individual maupun sosial.
Bila dibawa ke ranah kehidupan kita, sifat dan sikap tokoh wayang mencerminkan sifat dan sikap kita juga. Ada yang serakah, tamak, arogan, sombong yang dicitrakan dalam lakon Kurawa yang angkara murka yang diperankan para tokohnya.
Sebaliknya terdapat kehalusan dan keluhuran budi, adil, bijaksana dan memiliki cita- cita luhur, setia kepada bangsa dan negaranya seperti dilakonkan kepada Pandawa dengan para tokohnya.
Wayang menjadi simbol kehidupan nilai-nilai dualisme, seperti baik-buruk, utama- angkara, terpuji-tercela serta nilai-nilai religi, etis dan moral.
Baik dan buruk akan tergantung dari perilaku kita. Yang pasti terselip pitutur luhur ajakan kebaikan. “Manungso mung ngunduh wohing pakarti” – seseorang akan memetik hasil dari perbuatannya. Kebaikan akan mendatangkan kemuliaan di kemudian hari, kezaliman akan mendatangkan kesengsaraan bagi dirinya dan keluarganya. Wayang bukan sebatas tontonan, tetapi juga penuh tuntunan.
Dalam cerita wayang, lakon, terdapat sebuah makna berisi ajaran adiluhung bagi kita semua.
Cerita perjuangan rakyat jelata yang digambarkan punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) dalam memperjuangkan hak-haknya, melawan ketidakadilan dan penindasan, banyak digemari pemirsa. Seperti lakon Petruk dadi Ratu, Gareng dadi Ratu, Bagong dadi Ratu, dan terutama lakon Semar Mbangun Kahyangan.
Mengapa lakon ini banyak diminati? Jawabnya selain aktual dengan era kekinian, juga terdapat ikatan emosional sebagaimana layaknya rakyat kecil dalam memperjuangkan hak-hak hidupnya.
Dari sejumlah literatur menyebutkan “Semar Mbangun Kahyangan” itu bukan berarti membangun negara baru, bukan membangun kerajaan baru, bukan pula membangun istana baru yang megah.
Semar sebagai simbol rakyat menghendaki para pemimpin membangun jiwanya. Hanya, kadang penguasa salah menafsirkan kehendak rakyat sebagai obyek yang tidak paham. Semar sebagai punakawan, rakyat jelata tidak perlu ikut campur urusan kenegaraan.
Padahal Semar sebagai rakyat yang merasakan langsung dan memiliki penglihatan “linuwih” merasa perlu mengingatkan pemimpinnya agar tidak ternina bobokan oleh kekuasaan sehingga menjadi lalai dengan kepentingan rakyatnya. Karena terbuai kekuasaan cenderung sewenang-wenang. Oleh karena itu sosok Semar sering difigurkan sebagai pamomong negeri ini.
Kahyangan yang dimaksud Semar adalah jiwa, rasa dan rohani para pemimpinnya. Inilah yang perlu dibangun agar Amarta menjadi negeri yang makmur, adil, sejahtera, dan sentosa.
Sayangnya maksud baik disikapi dengan penuh kecurigaan, dianggap merongrong kewibawaan dan upaya makar. Tetapi akhirnya terungkap kebenaran adalah kebenaran, pemimpin akan terkoreksi oleh rakyatnya yang jelata. Itulah ending dari lakon tersebut.
Yang hendak saya sampaikan adalah siapapun yang menyampaikan pesan dan aspirasi, harus diresponS dengan penuh aspiratif, bukan dengan cara-cara represif. Siapapun yang menyampaikan pesan, apakah rakyat jelata, rakyat miskin, warga di lereng pegunungan seperti di Desa Wadas, Purworejo, Jateng, nun jauh di daerah pertambangan seperti di Parigi Moutong, Sulteng, dan daerah lainnya di nusantara ini.
Para pemimpin di level manapun, hendaknya memperhatikan rakyat jelata. Tidak meremehkan peran masyarakat yang secara samar tidak terlihat nyata, tetapi sejatinya akan selalu ada dalam mendukung suksesnya pembangunan.
Sebagai pemimpin harus mampu menyerap aspirasi rakyat baik yang terlihat secara nyata maupun tersamar seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “ Kopi Pagi” di media ini. Karenanya, pemimpin wajib mengetahui lubuk hati masyarakat dan mampu merasakan derita dan denyut nadi masyarakat.
Mari kita kedepankan budaya sebagai jati diri bangsa dengan mempraktekkan dalam kehidupan sehari- hari. Dengan senantiasa menaati etika dan norma yang ada dan hidup dalam masyarakat. Pemimpin dengan berpegang teguh kepada etika dan norma kepemimpinannya, tentu atas kesadaran sendiri, bukan karena disadarkan, apalagi sampai dipaksakan oleh rakyat jelata sebagaimana digambarkan Semar untuk bendoronya para Pandawa.
Monggo “ Noto ati ben uripe mukti” - Menata hati biar hidupnya makmur , jaya, bahagia. “Noto roso ben ora ciloko” – menata rasa agar hidupnya tidak celaka, “ “Noto polah, ben ora salah” – Menata sikap perbuatan agar hidupnya tidak tersesat – salah jalan. (Azisoko *)