Kopi Pagi

Pileg Jangan Bikin "Pilek" 

Kamis 02 Des 2021, 06:12 WIB

“Penguatan parpol harus dimulai dari akar rumput. Pembentukan kader berkualitas dan berintegritas harus pula dimulai dari level ini...” - Harmoko

Belum mengakarnya kader parpol dalam masyarakat, utamanya di akar rumput, menjadi kendala target perolehan suara dalam pemilihan. Tidak sedikit calon anggota legislatif  kurang dikenal publik di daerah pemilihannya (dapilnya).

Pada dua kali gelaran pemilu legislatif (tahun 2014 dan 2019), mayoritas masyarakat masih bingung memilih caleg yang dikehendaki, lebih dikarenakan tidak mengenal calon yang harus dipilihnya.

Hasil penelitian sejumlah lembaga survei menjelang pemilu legislatif (pileg), mengindikasikan masih banyak pemilih yang tidak mengenal calon anggota legislatif di dapilnya.

Angkanya cukup besar, Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut 80 persen pada pileg tahun 2014. Sedangkan pada pileg tahun 2019 di atas 70 persen seperti hasil survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA.

Yang terjadi kemudian, sebagaimana pengamatan media ini (poskota & poskota.co.id), tidak sedikit pemilih mencoblos caleg yang sudah familiar, sudah dikenal karena popularitasnya, meski bukan pilihannya. 

Baca Juga:

Sebagian lain dan menjadi pilihan akhir dengan mencoblos partainya karena masyarakat lebih mengenal partai, ketimbang calegnya. Selebihnya boleh jadi mengosongkan kolom caleg yang dipilih.

Lebih – lebih pada pemilu serentak 17 April tahun 2019, di mana pemilih membawa lima kertas suara ke dalam bilik suara, yakni : pasangan pilpres, calon anggota DPR-RI, calon anggota DPRD Provinsi, calon anggota DPRD Kabupaten/Kota dan calon anggota DPD-RI. Dengan deretan panjang daftar calon anggota legislatif, tentu cukup memakan waktu untuk menentukan pilihan, kecuali sudah ada pesanan "sponsor".

Money politic, politik transaksional, jual beli suara atau apapun namanya dengan memberikan suara berdasarkan imbalan menjadi satu ciri pemilu langsung, termasuk pileg sebagaimana hasil kajian sejumlah lembaga.

Aksi politik semacam ini jelas mencederai demokrasi itu sendiri yang menjadi tujuan dari pemilu langsung. Selain berimbas kepada perilaku korupsi untuk mengembalikan biaya pemilu yang telah dikeluarkan.

Data menyebutkan sejak 2004 hingga Juni 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 281 oknum anggota DPR/DPRD sebagai tersangka korupsi. Korupsi meningkat di tahun – tahun politik atau menjelang gelaran pemilu. 

Tidak jarang pula dilakukan secara berjamaah dan sistematis. Inilah sisi buruk demokrasi yang tidak mengedepankan nilai Pancasila.

Menjadi bahan renungan mengembalikan pileg dengan memilih partai, bukan orang perorang. 

Selain lebih simple, dapat menekan biaya pemilu yang dikeluarkan oleh negara. Juga untuk mencegah munculnya politik transaksional. 

Sudah seharusnya pileg jangan bikin "pilek". Hidung "tersumbat" sesak nafas, mengabaikan hati nurani dan roso dalam diri, sampai menghalalkan segara cara untuk menang dan mencederai persatuan bangsa.

Di sisi lain pemilihan melalui sistem perwakilan sebagai perwujudan dari sila keempat Pancasila, yakni “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”.

Mengembalikan pileg kepada parpol mensyaratkan adanya penguatan lembaga parpol itu sendiri. Tanpa penguatan lembaga parpol, apapun bentuk pemilihan akan diwarnai tarik menarik kepentingan yang tak hanya merugikan parpol, juga masyarakat.

Disinilah pentingnya rekrutmen keanggotaan dan kaderisasi mulai dari level terendah. Penguatan parpol harus dimulai dari akar rumput. 

Pembentukan kader berkualitas dan berintegritas harus pula dimulai dari level ini, begitu juga pemilih loyalitas seperti sering disampaikan pak Harmoko dalam berbagai kesempatan.

Pada level inilah, kader dapat membangun komunikasi politik sambung rasa dengan masyarakat untuk memahami problematik masyarakat, lebih mencermati kebutuhan riil masyarakat, sekaligus problem solvingnya.

Satu hal yang wajib ditorehkan kader adalah karya nyata untuk kemajuan masyarakat sekitar. Ini bukan karena menjelang pemilihan, tetapi secara terus menerus. Hindari banyak bicara tanpa karya nyata. 

Ibarat pitutur luhur “Kakehan gludhug, kurang udan” – Terlalu banyak bicara tapi minim usaha. Satu aksi lebih baik daripada sejuta kata.

Itulah yang disebut partai kader, berbuat sepanjang masa, bukan karena akan ada pemilu.

Kinerja kader akan diuji masyarakat. Kelembagaan parpol pun dengan mudah dapat mengevaluasi, kader mana yang dicintai dan tidak dicintai rakyat. Kader mana yang layak mewakili rakyat. Merit system pun berjalan. (Azisoko *)

Tags:
Kopi PagiharmokoPileg Jangan Bikin PilekCSISLSI

Reporter

Administrator

Editor