“KALAU saja saya dulu saya mau sama dia, hidupku akan lebih bahagia bahagia.” Kalimat seperti ini, serupa atau senada yang berisi sebuah penyesalan sering kita dengar. Tetapi orang bilang, penyesalan tiada berguna karena sudah terjadi.
Yah, karena penyesalan itu datang belakangan, kalau datangnya duluan namanya bukan penyesalan, tetapi pendahuluan.
Dalam kehidupan sehari – hari memang kita tidak lepas dari sebuah janji, ikrar atau komitmen terhadap sesama. Antara anak dengan orang tua, suami dengan istri, bahkan antara sepasang kekasih. Namun, acap apa yang telah diikrarkan dan dijanjikan tidak seluruhnya terpenuhi, ditepati.
Akibatnya kata penyesalan, sering terucap. Janjinya dulu ketika pacaran mau membahagiakan lahir batin. Mau kerja keras biar hidupnya berkecukupan. Tidak akan berpaling kepada wanita lain, apapun yang terjadi, bahkan kadang sampai terucap janji sehidup semati.
Faktanya, ditinggal istri, ga sabaran ingin kawin lagi. Dulu ingin membahagiakan, kini bukan bahagia yang didapatkan, tetapi derita yang tak tertahankan. Janji berkecukupan, kini serba kekurangan.
Memang sebagian janji terpenuhi, yaitu kesetiaan. Termasuk setia tinggal dengan mertua berikut fasilitas rumah megah, dan mobil mewahnya. Ini janji asal diucapkan tanpa melihat kemampuan.
Yah, janji memang diucapkan secara lisan. Meski tidak tertulis janji itu adalah hutang. Agama apapun mengajarkan kepada setiap umatnya untuk menepati janji yang telah diucapkan, diikrarkan.
Karenanya, jangan gunakan janji sebagai “bumbu pergaulan”, apalagi senda gurauan baik ketika berpacaran untuk merengkuh cinta dan kasih sayang.
Janji apapun bentuknya harus dipenuhi. Begitu juga janji politik ketika kampanye pemilihan.
Para pejabat mulai dari lurah, bupati, walikota, gubernur hingga presiden sekalipun mesti ingat apa yang pernah dijanjikan. Patut diingat, menjadi pemimpin, pejabat dan kepala daerah, wakil rakyat karena dipilih oleh rakyat. Dan, rakyat memilih karena tak lepas dari apa yang telah dijanjikan sebagaimana yang dikampanyekan. Boleh jadi tidak ingat, tetapi rakyat mencatat.
Kalau kemudian lupa atau dengan sengaja melupakan janjinya menjadi tidak etis,meski janji hanya memiliki kekuatan moral. Jika itu yang terjadi, janji yang diucapkan hanyalah pemanis bibir belaka untuk meraih simpati.
Padahal janji yang ditepati akan menambah kadar kepercayaan , juga melanggengkan kekuasaan. Ingkar janji jangan harap terpilih lagi.
Perlu sikap bijak dalam mengucapkan janji, juga menepati. jangan mencari – cari alasan mengapa belum bisa menepati janji.
Sejatinya, siapa pun dia, yang tahu persis tidak bisa menepati janji adalah dirinya sendiri. Mengingkari janji berarti mengkhianati diri sendiri, tidak bertanggung jawab kepada diri sendiri.
Ketimbang dikejar – kejar karena ingkar janji, lebih baik tidak mengobral janji, apalagi tahu bahwa janji yang diucapkan itu hanyalah strategi untuk mendapatkan simpati belaka, yang sulit untuk menepatinya.
Janganlah janji muluk – muluk, ketika merasa dirinya tidak memiliki kemampuan untuk menepatinya.
Lebih baik tidak berjanji, tetapi memberi, ketimbang berjanji tetapi tidak bisa menepati. Lebih baik memberi satu janji tetapi ditepati, ketimbang seribu janji, tak satupun yang ditepati.
Ada pesan moral” Jauh lebih baik tidak menjanjikan sesuatu apapun, tapi mencoba sekuat daya untuk memberikan yang terbaik.” (Jokles)