Dampak Konflik di Afghanistan, Partai Gelora Ingatkan Semua Pihak Tak Biarkan Kekuatan Asing Jadikan Indonesia Sebagai Medan Tempur Baru

Kamis 02 Sep 2021, 17:25 WIB
Anis Matta dalam diskusi Gelora Talks bertajuk 'Tantangan Taliban, Mampukah Membentuk Pemerintahan yang Efektif? di Jakarta. (adji)

Anis Matta dalam diskusi Gelora Talks bertajuk 'Tantangan Taliban, Mampukah Membentuk Pemerintahan yang Efektif? di Jakarta. (adji)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Anis Matta mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak membiarkan kekuatan asing menjadikan Indonesia sebagai medan tempur baru sebagai dampak konflik geopolitik global dan kawasan yang terjadi di Afghanistan.

Hal itu disampaikan Anis Matta dalam diskusi Gelora Talks bertajuk 'Tantangan Taliban, Mampukah Membentuk Pemerintahan yang Efektif? di Jakarta, kemarin.

"Ini sebagai salah satu interest nasional kita yang tinggi, supaya kita tidak terseret lagi menjadi collateral damage (kerusakan tambahan). Orang yang konflik, kita yang mati, itu yang perlu kita hindari, karena kita punya pengalaman, sehingga kita sebagai bangsa memang harus fokus," ujar Anis Matta dalam keterangannya diterima Kamis (2/9/2021).

Pengalaman 'colateral damage' yang dia maksud, adalah saat terjadi perang pasifik Perang Dunia I, Indonesia menjadi jajahan Jepang.

Sementara ketika perang dingin muncul G30S PKI, dan saat Uni Soviet runtuh di tanah air terjadi reformasi tahun 1998.

"Kita tidak tahu apakah nanti Afghanistan menjadi battlefield, satu model konflik baru yang semuanya bisa terbuka. Memang yang terbaik bagi kita di Indonesia saat ini adalah melihat apa yang akan terjadi ke depan. Kita konsen pada kepentingan nasional kita sebagai bangsa supaya, kita tidak terseret lagi dalam collateral damage yang dibuat oleh orang lain," imbuhnya.

Taliban akan menghadapi persoalan ekonomi besar di Afghanistan seperti 54 persen warganya diliputi kemiskinan, dan 23 persen warga menganggur, dan PDBnya  berada di kisaran 20 miliar dollar AS.

Sehingga Afghanistan membutuhkan investasi dari komunitas internasional. 

Karena itu, masa depan Afghanistan akan ditentukan oleh banyak faktor geopolitik global dan kawasan.

Apalagi dunia internasional kerap memandang Taliban sebagai gerakan teroris, bukan gerakan perlawanan di Afghanistan.

Mantan Kepala Bais TNI, Laksda TNI (Purn) Soleman B.Ponto, mengingatkan Indonesia harus berhati-hati sebelum mengambil langkah menyangkut Afghanistan.

Jangan sampai persahabatan Indonesia dengan negara tetangga rusak karena dianggap berlebihan dalam mengambil sikap.

Indonesia harus melihat dulu apa keuntungan dan kepentingan bersama yang bisa diperoleh.  

Sebab banyak negara yang memiliki kepentingan terkait Afghanistan, dari India, Pakistan, Tajikistan, Turki, Iran, Arab Saudi, hingga China, AS dan Eropa.

"Kalau mau hubungan, harus lihat apa kepentingan kita di sana, apa keuntungan di sana. Jangan sampai kita masuk, malah merusak hubungan kita dengan yang ada di sana," kata Soleman B Ponto.

Sementara itu Wawan H Purwanto, Deputi-VII Bidang Komunikasi dan Informasi yang juga juru bicara BIN, mengatakan, Indonesia berkepentingan Afghanistan yang damai, sehingga terjalin hubungan dan stabilitas.

Taliban saat ini, menurut Wawan, membutuhkan pengakuan internasional untuk mewujudkan janji-janjinya seperti tercantum dalam perjanjian Doha, Qatar dengan AS beberapa waktu lalu.

Dengan mendapatkan kepercayaan dunia internasional, maka Taliban bisa memulai penataan Afghanistan.

Tanpa hal itu, Taliban tinggal menunggu waktu akan jatuh, dan Afghanistan terlibat perang saudara. 

"Beri kesempatan Taliban untuk bisa menujukkan upaya-upayanya , meskipun dia tidak sepenuhnya bisa  menguasai milisi-milisi yang ada. Dalam masa transisi, tidak mudah mengatasi kerusakan dalam waktu sekejap. Tapi day per day, minggu per minggu, kita tetap coba bantu dengan upaya diplomasi. Mudah-mudahan dengan kerjasama internasional, stabilitas akan tercipta di Afghanistan," kata Wawan H Purwanto.

Sementara itu Pengamat Terorisme Haris Abu Ulya  dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Haris Abu Ulya, menganilisis bahwa ideologi Taliban tak se-ekstrem Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). (adji)

Berita Terkait
News Update