JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Aliansi Pekerja Buruh Garmen, Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) mendesak pemerintahan mendukung Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Rabu (1/9/2021).
Menurut Presedium APBGATI Ary Joko Sulistyo sebagai mewakili 70 persen pekerja garmen, alas kaki dan tekstil produk tekstil ekspor dengan total sekitar 850 ribu anggota sebagian besar dari pekerja di sektor ini adalah perempuan.
“Aliansi Pekerja/Buruh Garmen Indonesia (APBGATI) mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk segera diundangkan menjadi Undang-Undang,” ungkap Ary.
Ada empat poin dinilai harus disahkan RUU PKS pertama, sektor garmen adalah sektor dimana pekerja atau buruhnya mayoritas perempuan, kedua korban kekerasan seksual membutuhkan perlindungan sampai dengan pemulihan kondisi, baik secara fisik maupun psikis.
RUU PKS secara umum lebih melindungi pekerja perempuan dibandingkan dengan aturan yang ada dalam KUHP.
Ketiga, serikat buruh selama ini berupaya melindungi pekerja perempuan dengan aktif mengosiasikan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berisi pasal-pasal yang melindungi pekerja perempuan di tempat
kerja, tetapi negosiasi PKB akan berjalan sulit bila tidak ada payung hukum nasional tentang hal ini dalam bentuk Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
Keempat kondisi dan kasus kekerasan seksual dipabrik garment yang menimpa pekerja perempuan semakin banyak, sudah sampai pada tahap yang memprihatinkan dan masuk dalam kondisi darurat kekerasan seksual.
Hal ini terlihat dari banyaknya hasil riset yang menyoroti hal ini.
Ini hanya fenomena gunung es, masih banyak kasus yang tidak terlaporkan.
Perlu perlindungan semua pihak dari mulai pencegahan, pengawasan, penanganan kasus.
Dari hasil pengaduan anggota buru terhadapnya ia menilai banyaknya pelecehan seksual terhadap pimpinannya yakni pemimpin perusahaan dari Warga Negara Asing (WNA).
“Banyak kami ada disini ada pelecehan Warga Negara Asing selama ini dilakukan itu kita budaya malu itu aib (jika) dilaporkan belum siap mentalitas. Rekan-rekan pekerja mendapatkan pelecehan sepihak psikologis diri orang tersebut perlu waktu memberikan pendampingan pada saat ini akan kita laporkan. Dengan semoga RUU PKS Disahkan maka diharapkan ada Undang-Undang baru dan supay ada acuan Undang-undangnya selama ini kan belum ada,” papar Ary.
Dari Hasil Riset tentang kekerasan seksual di Pabrik Garmen, Studi yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika pada tahun 2017 yang berjudul “Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas Pada Buruh Garmen: Studi Buruh Garmen Perempuan di KBN Cakung Tahun 2017”.
Hasil studi ini mengambarkan bahwa 437 responden atau 56,5 persen dari 773 buruh perempuan yang bekerja di 38 perusahaan garmen pernah mengalami pelecehan seksual di pabrik garmen.
Salah satu survey dihimpun APBGATI tentang pelecehan terhadap pekerja perempuan di tempat kerja diantaranya Endang Rohani pada tahun 2010-2011.
Temuan: lebih dari 70 persen pekerja garmen mengakui bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual.
Angka ini lebih tinggi daripada sektor otomatif (45 persen) dan perhotelan (23 persen).
Tipe pelecehan yang dialami pekerja garmen antara lain: teriakan (60 persen), tatapan(23 persen), teguran (50 persen), kata-kata kasar (22 persen), instruksi kasar (24 persen).
Sebagian besar pelaku merupakan supervisor (83 persen), dan teman sekerja (7 persen). (adji)