CIREBON, POSKOTAJABAR.CO.ID - Polemik dualisme kekuasaan Keraton Kasepuhan Kota Cirebon perlu segera diakhiri.
Meski situasi sekarang terlihat adem ayem, namun bukan tidak mungkin muncul polemik baru dari dua kubu yang bersiteru tersebut.
Untuk menjawab persoalan itu perlunya mediasi pihak terkait sehingga akan Menemukan titik temu mengarah pada perdamaian.
Salah satu solusi mengatasi persoalan tersebut peran pemerintah sangat dibutuhkan memediasi penyelesaian konflik yang kini mendera di Keraton Kasepuhan.
"Terbitkan surat keputusan legal formalnya siapa yang berhak menjadi Sultan di Keraton Kasepuhan," tutur Budayawan yang juga pemerhati sejarah, Mustaqim Asteja.
Menurutnya, kisruh di Keraton Kasepuhan jika dibiarkan berlarut-larut akan merusak kerukunan antar famili di Kesultanan Kasepuhan Cirebon.
Lebih dari itu dapat menimbulkan perbuatan anarkis hingga bisa merusak Cagar Budaya peninggalan Pusaka di dalam komplek Keraton Kasepuhan.
"Kepada pihak-pihak yang sedang bersengketa mohon dapat bermusyawarah dan mufakat untuk menyelesaian sengketa dengan damai," ucapnya.
Hal ini, lanjutnya, sebagaimana dilakukan Syekh Syarif Hidayatulah Sunan Gunung Jati) jika terjadi permasalahan.
Dikatakannya, dalam persoalan Keraton Kasepuhan ini, pihak luar dan masyarakat agar tidak turut memperkeruh kondisi konflik atau sengketa di Keraton Kasepuhan.
"Harus diingat, Keraton Kasepuhan merupakan Cagar Budaya pusaka leluhur Cirebon yang keberadaannya dan kelestariannya dilinndungi UU RI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya," tuturnya.
Seperti diketahui polemik kekuasaan di Keraton Kasepuhan sempat memanas.
Bentrokan hingga aksi lempar batu antar pengikut kedua sultan yang bersiteru terjadi di Kompleks Keraton Kasepuhan.
Sebelum terjadi bentrokan hingga terjadi aksi lempar batu antar pengikut sultan yaitu Sultan sepuh XV PRA Luqman Zulkardin dan Sultan sepuh Aloeda II Raden Rahardjo Djali.
Tak dapat dipungkiri lagi akibat kericuhan tersebut memicu keprihatinan berbagai pihak yang harus segera diselesaikan. (ejub)