Bung Harmoko, karikatur.

Kopi Pagi

Kebijakan Mengakar

Senin 29 Mar 2021, 07:00 WIB

IBARAT sebuah pohon, makin tinggi akan semakin kencang terkena terjangan angin.Kian berat memikul beban karenanya lebih rentan tumbang, jika akarnya tidak kuat.

Tetapi jika akarnya kuat, sekalipun makin tinggi dan rimbun, akan tetap kokoh dan kuat. Menandakan rindang dan subur. Bahkan kerindangannya mampu memberikan manfaat kepada tanaman atau tumbuhan sekitarnya.

Itulah sebabnya kita sering mendengar istilah “mengakar”. Pemimpin di level mana pun wajib “mengakar” jika ingin kuat, langgeng dan dicintai oleh warga masyarakat yang dinaunginya. Dari kenyataan demikianlah dikenal istilah "Pemimpin Mengakar" atau "Pemimpin Membumi."

Kata "mengakar" itu sendiri sebuah kiasan yang bermakna mendalam atau menyatu teguh di dalam hati, pikiran dan lainnya.

Ini bisa tentang ajaran, adat, budaya dan sebagainya. Bisa  juga tentang pola kebijakan yang digulirkan oleh si pembuat kebijakan yang lazimnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Dan dalam arti luas, bisa dia pemimpin adat, sosial, politik, ekonomi, dan bisa juga keamanan.

Kebijakan disebut mengakar, jika sesuai dengan kehendak rakyat, sesuai kebutuhan rakyat saat ini dan masa mendatang. Sejalan dengan cita-cita bersama.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah kebijakan yang sejalan dengan amanat undang-undang. Senada dengan cita-cita rakyat, bangsa, sejak sebuah negeri  didirikan.

Kebijakan yang berujung kepada "pemanfaatan" hasil oleh sekelompok orang, jelas tidak sesuai dengan cita-cita. Kebijakan yang membuat sebagian kelompok orang terpinggirkan atau dirugikan, juga tidak sejalan dengan amanat negeri. Lebih-lebih kebijakan yang hanya diciptakan untuk keuntungan keluarganya, kelompoknya, dan relasinya, jelas bertentangan dengan tujuan nasional.

Kita tentu wajib mengapresiasi kebijakan yang yang sangat bermanfaat dalam rangka mendongkrak taraf hidup rakyat, melindungi para petani negeri, bukan “petani berdasi”.

Cukup banyak kebijakan yang mengangkat harkat dan martabat bangsa kita, sebut saja yang sedang berlangsung adalah bantuan sosial untuk mereka yang terdampak langsung pandemi. Ratusan triliun rupiah digelontorkan, bentuk keberanian dan kebijakan yang pro rakyat, selain bantuan sosial juga memberikan vaksin gratis kepada seluruh masyarakat.

Sebaliknya ada beberapa kebijakan yang perlu diberi catatan, jika tidak ingin disebut dikoreksi. Mendatangkan tenaga asing, di saat tenaga kerja lokal berlimpah, hendaknya perlu diberi catatan.
Mengimpor komoditas pangan, di saat stok pangan kita melimpah, petani kita akan memulai panen raya, patut pula mendapat catatan agar tidak melukai hati para petani negeri.

Ke depan, sedapat mungkin tidak menaikkan iuran, tarif atau sejenisnya yang akan makin memberatkan beban  masyarakat, apalagi pandemi masih menerpa negeri ini. Sekecil apa pun kenaikan akan berdampak kepada sektor kehidupan yang lain, sering disebut "Efek Domino."

Kebijakan yang mengakar tidak hanya memberikan sesuatu kepada masyarakat, tapi juga melibatkan sebesar mungkin peran masyarakat  di dalamnya, yang bisa diupayakan manfaatnya secara langsung.

Sebut saja yang lagi aktual adalah kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM ) berbasis mikro yang diakui mampu menekan laju penularan Covid-19.  Ini berhasil karena melibatkan peran hingga ke level RT. Mereka "diuwongke," dihargai perannya, dan diberdayakan. Yang kedua, kebijakan yang  hasilnya dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh siapa saja. (*)

Tags:
Kopi PagiKebijakan Mengakarkebijakan

Reporter

Administrator

Editor