Mari Kelola Hasrat Diri

Senin 12 Apr 2021, 07:00 WIB
Bung Harmoko, karikatur.

Bung Harmoko, karikatur.

Oleh Harmoko
HASRAT paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk menguasai (the will to power) seperti dikatakan filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Hasrat ini baik, jika dilakukan dengan baik. Yang jadi soal jika keinginan ini dilakukan dengan memaksakan kehendak yang dapat berakibat merugikan orang lain, merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 Menguasai sesuatu, apakah itu harta benda, kekuasaan dan jabatan adalah sah-sah saja jika dilakukan sesuai dengan etika dan norma yang ada. Dalam bahasa hukum disebut legal formal dan prosedural. Tetapi tidak dianjurkan, jika dilakukan secara paksa.

Agama apa pun tidak mengajarkan cara-cara mengambil kekuasaan secara paksa. Ajaran luhur juga tidak menganjurkan adanya pemaksaaan kehendak sebagaimana tercermin dalam filosofi bangsa kita, yakni Pancasila.

Bahkan, kita dianjurkan untuk menunda hasrat individu yang berlebihan, demi kepentingan dan cita-cita yang lebih tinggi lagi, yakni hasrat bersama dan cita-cita bangsa.

Kita dapat memahami hasrat (desire) adalah keinginan atau harapan yang kuat sebagai esensi manusia untuk meraih cita-cita. Tetapi esensi itu akan berharga, bercahaya dan bersinar jika dilakukan secara baik dan benar. Akan menjadi redup, menggelapkan alam sekitar jika dilakukan dengan penuh keburukan, lebih-lebih "kebusukan".

Dalam ajaran Buddhisme, hasrat dianggap sebagai penyebab semua penderitaan. Dengan menghilangkan hasrat, seseorang dipercaya bisa mencapai kebahagiaan tertinggi, atau Nirwana.

Itulah sebabnya diperlukan suatu upaya bagaimana menata, mengendalikan dan mengelola hasrat diri agar dapat bermanfaat bukan hanya untuk dirinya, juga lingkungan sekitarnya.

Pengendalian hasrat diri sangat dibutuhkan di era sekarang, di era pandemi, lebih-lebih memasuki bulan suci Ramadan, di mana kita senantiasa dituntut untuk lebih mampu mengendalikan hawa nafsu.

Sering juga dimaknai bahwa hawa nafsu adalah kekuatan emosional yang sangat besar dalam diri seseorang menyangkut pemikiran, kehendak (hasrat diri) atau boleh jadi fantasi diri.

Nah, di sinilah perlunya mengendalikan hawa nafsu dengan senantiasa menata, mengoreksi dan terus mengavaluasi hasrat diri.

Jika tidak ditata, dikendalian dan dikontrol, dapat menyeret seseorang melanggar etika dan norma. Orang melakukan korupsi misalnya, bukan karena tidak tahu bahwa korupsi itu melanggar hukum. Tetapi lebih karena adanya hasrat diri, keinginan yang kuat untuk menguasai harta benda, ingin memiliki kekayaan melimpah dengan mudah.

Ini terjadi karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan hasrat diri yang berlebihan, penuh keburukan.

Baca Juga:

Hasrat diri akan berbuah kebaikan dan bermanfaat bagi banyak orang jika dikendalikan secara baik dan benar. Baik, berarti dorongan kuat untuk selalu berbuat baik kepada orang lain. Ucapan dan sikap perbuatannya sesuai etika dan norma sosial. Benar berarti tidak menabrak rambu-rambu hukum.

Telaah para ahli, kebaikan diri yang menjadi ciri khas manusia misalnya kejujuran, kerendahan hati, bersikap adil dan suka menolong. Keburukan diri di antaranya sombong, serakah, ingin selalu di atas, ingin menguasai dengan berbagai cara meski melanggar etika dan norma.

Marilah arahkan hasrat diri sebagai motivasi untuk berprestasi, bukan nafsu untuk menguasai. (*)

Berita Terkait

Keberagaman Tak Perlu Dipersoalkan

Kamis 15 Apr 2021, 07:00 WIB
undefined

Berburu Jabatan

Kamis 22 Apr 2021, 07:00 WIB
undefined

Hidup Sak Madyo

Kamis 29 Apr 2021, 07:00 WIB
undefined

Kebijakan Berkelanjutan 

Kamis 06 Mei 2021, 07:00 WIB
undefined

Maaf Tak Sebatas Ucapan

Senin 17 Mei 2021, 07:00 WIB
undefined

Bangkit dari Zona Nyaman

Kamis 20 Mei 2021, 07:00 WIB
undefined
News Update