Oleh Harmoko
KEBERPIHAKAN kepada petani sejatinya telah diamanatkan oleh para pendiri negeri melalui serangkaian produk undang-undang.
Sebut saja dengan diterbitkannya UU Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional. Semua itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para petani kita.
Di era reformasi, diterbitkan juga UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Lepas masih perlu adanya penyempurnaan, penekanan atau apa pun namanya dengan maksud lebih memberi bobot, tetapi hadirnya kedua undang-undang tersebut, juga perundangan yang lain, membuktikan negeri kita telah memberi arah perlindungan kepada para petani.
Para founding fathers dan tokoh bangsa telah sejak awal berupaya mengangkat harkat dan martabat para petani.
Mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran petani dan bangsa. Dengan tujuan mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana cita – cita negeri ini didirikan.
Meningkatkan taraf hidup petani menjadi prioritas karena sejatinya mereka adalah pahlawan negeri.
Perhatian lebih sudah sepatutnya diberikan kepada petani yang saat ini berjumlah 33, 4 juta orang. Apalagi di era sekarang ini tantangan pembangunan pertanian kian beragam dan kompleks.
Konversi lahan, ketidakpastian iklim dan kian berkurangnya cadangan air, menjadi persoalan tersendiri dalam proses produksi.
Belum lagi meningkatnya erosi sumberdaya genetik yang disebabkan oleh hama dan macam-macam penyakit tanaman.
Tetapi di tengah keterbatasan dan kendala yang dihadapi, para petani terus berkarya untuk bertanam padi, menyuplai beras sebagai makanan pokok bangsa sendiri, dan lainnya lagi. Menanam sayur mayur, buah-buahan, kedelai, beternak ( sapi, kerbau, kambing dan lain-lain), hingga menjadi petani garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, agar negeri kita tidak lagi impor beras, kedelai atau pun garam.
Kita tentu akan bangga jika petani dan produknya menjadi tuan di negeri sendiri, apalagi sampai menjadi tuan di negara tetangga.
Tidaklah sulit jika menempatkan secara sungguh-sungguh pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas bangsa yang diikuti kebijakan konkret di bidang pertanian dengan memberikan perlindungan kepada petani.
Perlindungan dimaksud, di antaranya menyediakan prasarana dan sarana produksi pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani dan memberikan kepastian usaha tani.
Tak kalah pentingnya melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen.
Kita tak ingin menjadi petani karena terpaksa untuk menyambung hidup akibat tiadanya pekerjaan lain. Yang muda pergi ke kota, terjadilah urbanisai besar-besaran. Muncul problema baru. Di desa, tanpa regenerasi petani, di kota bertumpuk angkatan kerja tanpa peluang kerja.
Peduli regenerasi petani pun harus dilakukan dengan mengedukasi bahwa petani adalah profesi bergengsi dan juga panggilan negeri. Peduli kepada petani perlu bukti.
Sejalan dengan itu, profesi petani akan diminati jika ada kepastian jaminan sosial, taraf hidupnya meningkat, dukungan kelembagaan keuangan besar, dan juga terbuka peluang mewujudkan kedaulatan dan kemandirian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya. (*).