Jangan jadi “Orang Ketiga”

Senin 21 Des 2020, 07:00 WIB

Oleh Harmoko

SERING kita saksikan perseteruan terjadi karena pihak ketiga. Rumah tangga berantakan hingga perceraian karena hadirnya orang ketiga.

Lantas siapa sih orang ketiga itu? Jawabnya dapat kita temukan pada dialog inspiratif seorang guru dengan muridnya yang mempertanyakan tentang kebaikan dan keburukan manusia.

Boleh jadi kisah ini, sering dishare dalam berbagai forum, tetapi masih cukup menarik untuk ditelisik.

Dikisahkan, seorang guru ditanya oleh satu muridnya tentang dua keadaan manusia.

Baca juga: Tanggap Darurat Bersama

Pertama, manusia yang sangat rajin beribadah, namun sombong, angkuh dan selalu merasa suci. Kedua, manusia yang sangat jarang beribadah, namun akhlaknya begitu mulia, rendah hati, santun, lembut dan menyayangi manusia.

Murid bertanya: “Mana yang lebih baik?”

Sang guru menjawab, “Keduanya baik. Boleh jadi suatu saat ahli ibadah yang sombong menemukan kesadaran tentang akhlaknya yang buruk dan dia bertaubat lalu ia akan menjadi pribadi yang baik lahir dan batin.

Dan yang kedua, bisa jadi karena kebaikan hatinya maka Allah SWT menurunkan hidayah lalu ia menjadi ahli ibadah yang memiliki kebaikan lahir dan batin.”

Baca juga: Singkirkan Kecurangan Meski Sebatas Angan

Kemudian murid tersebut bertanya lagi kepada sang guru, “Kalau begitu, siapa yang tidak baik?”

“Yang tidak baik adalah kita, orang ketiga yang selalu mampu menilai orang lain, lalu lalai menilai diri sendiri,” jawab sang guru.

Dari dialog guru dan murid ini, mengajarkan kepada kita, setidaknya tentang tiga hal.

Pertama, menilai keburukan orang lain lebih mudah, ketimbang menilai keburukan diri sendiri. 

Kedua, kebaikan orang lain sering terabaikan, sementara kebaikan diri sering ditonjolkan, diagung – agungkan.

Ketiga, kehidupan tak ada yang konstan ( ajeg). Perubahan akan terjadi. Ibarat roda terus berputar, ada kalanya di atas, di bawah, suatu saat di samping. Begitu pun perjalanan hidup kita.

Baca juga: Tegas, Tak Harus Keras

Kita tidak boleh memvonis orang itu buruk hanya dari satu perbuatan buruk yang kita dapati, yang kita lihat.

Padahal banyak sisi kebaikan yang ada padanya, tapi tidak terlihat oleh kita karena keterbatasan kemampuan untuk melihatnya atau kita tak mau melihatnya, pura – pura tidak melihatnya atau sengaja tidak melihatnya.

Cara pandang demikian sering diidentikan dengan negative thingking ( pikiran negatif) atau prasangka buruk. Padahal apa yang disangkkan belum tentu benar adanya.

Di sisi lain, orang tak selamanya buruk. Suatu saat yang buruk berubah baik, sebaliknya yang baik bisa menjadi buruk.

Itulah sebabnya para leluhur kita berpesan agar senantiasa menjauhkan diri dari  prasangka buruk. Berburuk sangka dapat menutup mata atas kebaikan dan memupus kebenaran.

Baca juga: Perlu Malu, Tapi Tidak Malu – Maluin

Karena itu berpikirlah positif, dengan melihatnya dari dua sisi berbeda akan didapatkan penilaian yang objketif  untuk mewujudkan kedamaian dan keadilan.

Yang lebih penting lagi sebelum berburuk sangka kepada orang lain, berburuk sangka kepada diri sendiri. Nilailah diri sendiri, sebelum menilai orang.

Jangan menjadi kebiasaan yang melekat dalam diri, suka menilai orang lain, tetapi lalai menilai diri sendiri. Mampu menilai keburukan orang lain, tetepi tidak memiliki kemampuan  menilai keburukan diri sendiri.

Berani menilai orang, tetapi takut menilai dirinya sendiri karena khawatir akan terungkap banyak keburukan.

Janganlah kita selamanya  menjadi “orang ketiga”, orang yang mampu menilai orang lain, tetapi lalai menilai diri sendiri. (*)

Berita Terkait

Pandai Membaca Keadaan

Kamis 14 Jan 2021, 07:00 WIB
undefined

Mana Lebih Dulu? Hak atau Kewajiban

Kamis 21 Jan 2021, 07:00 WIB
undefined
News Update