Kemudian murid tersebut bertanya lagi kepada sang guru, “Kalau begitu, siapa yang tidak baik?”
“Yang tidak baik adalah kita, orang ketiga yang selalu mampu menilai orang lain, lalu lalai menilai diri sendiri,” jawab sang guru.
Dari dialog guru dan murid ini, mengajarkan kepada kita, setidaknya tentang tiga hal.
Pertama, menilai keburukan orang lain lebih mudah, ketimbang menilai keburukan diri sendiri.
Kedua, kebaikan orang lain sering terabaikan, sementara kebaikan diri sering ditonjolkan, diagung – agungkan.
Ketiga, kehidupan tak ada yang konstan ( ajeg). Perubahan akan terjadi. Ibarat roda terus berputar, ada kalanya di atas, di bawah, suatu saat di samping. Begitu pun perjalanan hidup kita.
Baca juga: Tegas, Tak Harus Keras
Kita tidak boleh memvonis orang itu buruk hanya dari satu perbuatan buruk yang kita dapati, yang kita lihat.
Padahal banyak sisi kebaikan yang ada padanya, tapi tidak terlihat oleh kita karena keterbatasan kemampuan untuk melihatnya atau kita tak mau melihatnya, pura – pura tidak melihatnya atau sengaja tidak melihatnya.
Cara pandang demikian sering diidentikan dengan negative thingking ( pikiran negatif) atau prasangka buruk. Padahal apa yang disangkkan belum tentu benar adanya.
Di sisi lain, orang tak selamanya buruk. Suatu saat yang buruk berubah baik, sebaliknya yang baik bisa menjadi buruk.
Itulah sebabnya para leluhur kita berpesan agar senantiasa menjauhkan diri dari prasangka buruk. Berburuk sangka dapat menutup mata atas kebaikan dan memupus kebenaran.