JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Dr. Anis Byarwati mengatakan, wacana mengenai zakat sebagai pengganti pajak sudah sejak lama menjadi diskusi di kalangan akademisi dan pemangku kebijakan.
Kebijakan publik terkait zakat sebagai pengurang pajak selain berkaitan dengan masalah substansi akademik, juga dominan berkaitan dengan keputusan politik dari pemerintah dan stakeholder terkait.
"Dalam khazanah Islam, telah dijelaskan bahwa dalam konsep keuangan publik Islam klasik, posisi zakat adalah menjadi bagian utama dari penerimaan Baitul Maal yang dialokasikan secara terikat untuk para penerimanya. Dan dalam perkembangan mutakhir, berbagai negara muslim menetapkan zakat dengan kondisi yang beragam dari yang bersifat mandatory sampai voluntary," kata Anis, Minggu (1/11/2020).
Baca juga: Wamenag : Zakat dan Wakaf Untuk Penanggulangan Kemiskinan
Dalam konteks NKRI, papar Anis, pengelolaan zakat (sebagaimana dituangkan dalam UU Pengelolaan Zakat, red) sampai hari ini masih menganut paradigma voluntary dan memberikan partisipasi masyarakat untuk mendirikan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
"Jika mengacu pada khazanah awal keuangan publik Islam, maka kecenderungannya akan mengintegrasikan zakat pada keuangan publik negara. Adapun untuk kondisi Indonesia saat ini, dengan menimbang berbagai konsideran konstitusi dan UU yang berlaku, maka diperlukan objektifikasi dengan berbagai konsideran yang kontekstual, dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang terbesar," ucapnya.
Anis menekankan, tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini untuk menerapkan zakat sebagai pengganti pajak diantaranya, kondisi penerimaan negara dan terutama penerimaan perpajakan yang sangat berat, membuat kebijakan zakat sebagai pengurang pajak, langsung dipersepsi pemerintah akan mengurangi penerimaan negara.
"Selain itu, tuntutan dari pemeluk agama lain atas kewajiban keagamaan yang sejenis untuk mendapatkan equal treatment juga menjadi tantangan lain. Dan pelaksanaan Keuangan Negara (APBN) dan Keuangan Sosial Islam yang belum sinergis atau terintegrasi, menjadi tantangan tersendiri," katanya.
Baca juga: Pandemi Corona, Wajib Pajak di Depok Andalkan Sambara
Dalam catatan Anis, bahwa kebijakan zakat sebagai pengurang pajak membutuhkan kajian kebijakan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan keragaman serta perlu analisis yang lebih detail.
Kebijakan zakat sebagai pengurang pajak juga membutuhkan political will dan dukungan penuh dari pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik serta stakeholder lainnya. Sinergi dan integrasi yang lebih mendalam antara keuangan publik negara dengan keuangan sosial Islam, juga sangat diperlukan.