ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Oleh S Saiful Rahim “SUMPAH mati aku sedih sekali melihat nasib si Dul,” kata orang yang masuk ke warung Mas Wargo tanpa memberi salam. “Lha, memangnya aku kenapa?” tanya Dul Karung seraya menggeser bokongnya memberi tempat kepada orang itu. Sambil memesan kopi orang itu duduk di kiri Dul Karung seraya mengelus-elus punggung si Dul menunjukkan simpati. “Waktu kecil kita dulu kan bertetangga. Aku ingat, kalau teman-teman bermain sepeda kau hanya lari-lari mengikuti. Kalau sesekali aku, atau teman lain, memboncengi betapa senangnya kau. Di antara kita hanya kaulah yang tidak punya sepeda,” kata orang itu dengan suara tulus sendu. “Kesusahan kok diingat-ingat. Kalau bernostalgia, ingatlah yang enak-enak. Masa pacaran, misalnya,” sergah entah siapa dan yang mana. “Masa pacaran? Emangnya ada cewek yang mau dipacarinama si Dul?” celetuk orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang semata wayang di warung itu, mengundang tawa. “Tunggu dulu. Kalian jangan salah sangka. Aku bukan hanya miris pada nasib Dul Karung, tapi juga pada Dul yang lain. Okelah Dul Karung lahir dari keluarga miskin yang untuk membelikan sepeda saja orangtuanya tidak mampu, tapi kan ada Dul yang baru berumur 13 tahun sudah menjadi penyebab meninggalnya 6 manusia. Bukan kucing atau ayam, apalagi semut. Manusia, lho. Astaghfirullah,” kata orang yang tadi, mengelus-elusDul Karung. “Ah, kalau itu karena keberatan nama,” kata Mas Wargo. “Lha wong bapak dan ibunya tukang nyanyi kok anaknya diberi nama Abdul Qodir Jailani, Itu kan nama sufi besar. Di kampungku kalau ada selamatan apapun Abdul Qodir Jailani dikirimi fatihah. Urutannya setelah Rasulullah, para sahabat, lalu ulama-ulama sekelas Abdul Qodir Jailani itu,” sambung Mas Wargo. “Saya sih nggak percaya ada orang keberatan nama. Nama anak itu kan doa orangtua. Anak yang diberi nama Muhammad pasti orangtuanya berharap anaknya berakhlak mulia. Kalau si anak ugal-ugalan itu bukan salah nama, tapi salah asuh. Kalau anak di bawah umur dibelikan mobil itu karena kesombongan orangtua. Cepat atau lambat pasti Allah akan menegur orangtua macam itu,” kata orang berkopiah yang duduk di depan Mas Wargo. “Kalau masa kecil dulu aku kenal Dul yang orangtuanya tidak mampu membelikan sepeda, sekarang aku kenal Dul yang orang-tuanya bahkan mampu membelikan mobil mewah, tetapi nasib kedua Dul membuat aku prihatin,” kata orang yang tadi mengelus elus Dul Karung. “Itulah akibat salah asuh,” komentar orang yang entah siapa. “Kok jadi salah asu, sing asu sopo?” kata si Dul seenaknya seraya ngeloyor meninggalkan warung. ([email protected])
ADVERTISEMENT
Berita Terkait
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berita Terkini
ADVERTISEMENT
0 Komentar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT