ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Oleh S Saiful Rahim
“NAH, alhamdullah. Ni dia orangnya datang,” kata orang yang duduk di depan Mas Wargo, pemilik warung kopi tidak bermerk tapi terkenal dengan nama “Warung Kopi Mas Wargo.”
Ketika itu, di pintu masuk warung, terdengar orang mengucap salam dengan ucapan assalamualaykum yang fasih.
“Siapa yang dimaksud ni dia orangnya? Aku bukan, ya?” tanya Dul Karung yang masuk ke warung mengucapkan assalamualaykum, sambil mencomot sepotong singkong goreng yang kebul-kebul.
“Iyalah, yang kumaksud adalah kau, Dul! Habis siapa lagi? Kan yang masuk ke warung langsung menyambar singkong goreng tetapi diutang, cuma kau sendiri di dunia ini, Dul!” kata orang itu lagi, yang lalu disusul tertawa yang ramai dari hadirin. Kecuali Dul Karung dan Mas Wargo, yang memang pantang menertawakan tamu warungnya.
“Begini, Dul. Pertama aku ingin mengajukan teka teki padamu. Mudah-mudahan kau bisa menebaknya,” kata orang itu lagi.
“Astagfirullah, kakek-kakek sudah bau tanah kuburan masih saja mau main tebak-tebakan! Ya, sudahlah! Ajukan teka-tekinya,” kata Dul Karung setengah jengkel.
“Makhluk apa yang matanya ada di pusat? Kau tahu pusat kan? Yang orang kampungmu sebut puser?” kata orang yang duduk di depan Mas Wargo itu lagi.
“Yah, tebak-tebakan begitu, anak-anak yang belum sekolah juga bisa nebak,” jawab Dul Karung sambil menyeruput teh manis yang baru saja diletakkan Mas Wargo di depannya.
“Memang kamu pernah bersekolah, Dul?” serobot orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang, mengundang senyum dikulum para hadirin. Bahkan ada yang terselak minumannya yang baru lewat di tenggorokan.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT