ADVERTISEMENT

Urusan Timbal dan Timbel

Minggu, 27 Oktober 2019 06:24 WIB

Share
Urusan Timbal dan Timbel

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Oleh S Saiful Rahim “Ih, ngeri! Zaman kita masih anak-anak dulu, gak ada hal ihwal yang seperti ini. Ya Allah dunia bukan cuma sudah tua, tetapi sudah hampir tamat mungkin ya,” kata Dul Karung sambil melangkah masuk ke warung kopi Mas Wargo. Tentu saja sebelum itu dia tidak lupa meng ucapkan salam “Assalamu alaykum” dengan amat fasih. “Kau ngomong apa sih, Dul? Gak hujan, gak puting beliung, nyebut-nyebut dunia hampir tamat. Akan tamat besok dunia ini, atau mau nunggu negeri kita dipimpin presiden yang keseribu, itu kuasa dan hak Allah Taala. Kita cuma bisa nerima doang, kok ikut-ikutan ribut,” kata orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang. “Yang pada ribut itu bukan aku, tetapi justru orang-orang yang pintar. Aku gak tahu mereka itu gelarnya apa dan sekolahnya dulu sampai mana? Yang bikin aku bingung kenapa sih mereka pada ngeributin timbel?” sambar Dul Karung, memotong kalimat omongan orang  yang duduk di ujung kiri bangku panjang. Mendengar omongan Dul Karung dengan nada yang agak tinggi,  bukan hanya lawan bicaranya yang sedikit tersentak, hadirin  yang lain pun kaget. Anehnya, beberapa pelanggan warung kopi Mas Wargo yang lain justru ada yang mengulum senyum, dan beberapa yang lainnya justru tertawa. “Dul Karung, Dul Karung, macam-macam saja, kau! Yang dibicarakan oleh orang-orang yang kau maksudkan itu, bukan timbel Dul, tapi timbal! Dan perbedaan antara timbal dengan timbel jauhnya sejauh jarak warung ini dengan bulan yang di langit itu,” kata orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang seraya menunjuk langit. “Yang dikatakan teman kita itu benar,” sambung orang yang duduk di depan Mas Wargo. Seseorang yang berpakaian necis dengan tampang intelek. Seluruh hadirin yakin, sebelum hari itu tak pernah mereka melihat orang necis dan penampilan intelek tersebut ikut nongkrong di warung kopi ini. Entah kalau di warung kopi lain. “Beberapa hari yang lalu “Yayasan Nexus3” meneliti 32 “Taman Bermain” di 5 wilayah kota DKI Jakarta. Mereka menemukan kadar timbal yang cukup tinggi pada cat permainan anak-anak yang terkelupas. Dari 115 permukaan permainan yang terkelupas itu, 81 mengandung konsentrasi timbal di atas 90 ppm dari standar WHO. Bahkan ada yang sampai di atas 4.000 ppm,” sambung orang tersebut membuat banyak pendengarnya mengangguk-angguk meski sedikit pun mereka tidak paham apa arti angka-angka yang dipaparkan itu. “Dul, memang kau tahu apa itu kepanjangan ppm yang disebut-sebut tadi? Kalau kau tahu, beri tahulah aku. Kudoakan kau masuk surga. Kalau gak tahu, jangan manggut-manggut kayak burung pelatuk bikin lubang,” kata orang yang duduk di kiri Dul Karung. “Ppm itu kepanjangannya pura-pura mengerti,” bisik Dul Karung seenak saja. Tapi yang dibisiki tampak tersenyum puas. “Tetapi seorang Guru Besar Ilmu Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universita Indonesia bilang, ada dua cara timbal masuk ke tubuh manusia. Melalui mulut atau hidung. Bila  dosis timbal yang masuk hanya sedikit, akibatnya hanya akan terjadi penurunan kecerdasan,” kata seseorang yang entah siapa dan duduk  di sebelah mana. “Kalau begitu lebih berbahaya timbel daripada timbal, dong. Dulu kalau sekolah bawa timbel kebanyakan, gak bisa belajar karena mengantuk. Kalau bawa timbel sedikit, gak bisa belajar juga, karena lapar,” kata orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang membuat orang-orang yang mendengar tertawa. “Asal jangan sebelum berangkat kerja sudah mikir mau cari timbel di mana? Nanti malah kepergok OTTnya KPK,” kata Dul Karung seraya meninggalkan warung begitu saja, ( *** )

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT