Sebab jika dilihat dalam perspektif agama, kebenaran informasi tidak selalu harus dipublikasikan. Jika tidak membawa manfaat atau justru memicu keburukan, penyebarannya sebaiknya ditahan.
“Secara aspek keagamaan, berita yang benar pun tidak harus disebarkan. Kalau tidak ada manfaatnya, harus ada yang manfaatnya,” tegasnya.
MUI juga berencana mengadakan pertemuan rutin dengan Komdigi untuk memperkuat kolaborasi. Terutama untuk menghadapi isu keagamaan dan kebangsaan yang berkembang di media sosial.
Soroti Peran Krusial Fatwa MUI
“Kita berharap nanti ada pertemuan rutin dengan Komdigi untuk update berita-berita yang berkenaan dengan isu keagamaan dan kebangsaan,” ujarnya.
Dalam menghadapi hoaks, MUI menggarisbawahi peran krusial fatwa sebagai panduan bagi masyarakat dalam menyaring informasi.
Fatwa MUI Nomor 17 Tahun 2014, yang mengatur etika penyebaran informasi, dinilai sangat relevan dalam mengatasi derasnya arus berita yang tidak terverifikasi.
“Peran pertama adalah dengan Fatwa Nomor 17 Tahun 2014 itu adalah sangat dibutuhkan dan sangat memberikan efek panduan terhadap masyarakat,” ungkapnya.
Fatwa menegaskan bahwa setiap informasi harus diverifikasi kebenarannya sebelum dibagikan, terutama jika berasal dari sumber yang tidak dikenal.
Kiai Cholil menekankan bahwa langkah ini sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan potensi konflik sosial.
Sehingga, kata dia, MUI dengan fatwa-fatwanya bisa menjadi pedoman pada masyarakat setiap konten atau berita yang muncul adalah berita yang mungkin benar dan mungkin salah.