“Perilakunya jauh menyimpang dari apa yang diucapkan, kebijakan tak selaras dengan yang telah dijanjikan.Lantang menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi mendukung kebijakan yang meminggirkan kehendak rakyat, itu cermin tak selarasnya kata dengan perbuatan.”
-Harmoko-
Sering dikatakan pernyataan itu mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan. Makna lain, tindakan tak semudah diucapkan. Namun, sesulit apa pun tindakan harus senantiasa diupayakan sebagaimana yang telah diucapkan.
Tindakan harus selaras dengan ucapan. Satunya kata dengan perbuatan hendaknya menjadi pijakan bagi setiap orang, tokoh masyarakat dan pejabat, lebih-lebih para pemimpin di semua level, mulai dari kepala desa, kepala daerah hingga kepala pemerintahan.
Ada pula adagium, dalam kepemimpinan dan kehidupan, jauh lebih bijaksana untuk menilai orang dari perbuatannya dari pada ucapannya, rekam jejaknya dari pada pada ucapannya, aksi nyata dari pada perkatannya, realisasi dari pada sebatas janji.
Karenanya para leluhur kita mengajarkan berkata bijak itu penting, tetapi jauh lebih penting bijak dalam perbuatannya.
Dalam pepatah Jawa dikenal istilah "Sabdo pandhito ratu” yang mengandung makna apa yang telah diajarkan oleh para pandhito dan diucapkan oleh raja tidak boleh diubah kembali.
Dapat pula kita maknai bahwa pemimpin harus konsisten, wajib mengimplementasikan apa yang telah diucapkan. Kata-kata dan perbuatan harus selaras. Tak perlu ada keraguan, tidak pula terpengaruh oleh perasaan untuk mengambil tindakan seperti telah diucapkan,meski tak jarang menuai kontroversi.
Semakin lengkap, jika “berbudi bawa laksana”, bahwa seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dalam tata nilai, moral, berbudi luhur dan murah hati.Memiliki empati, kepedulian kepada anak buahnya, jika kepala daerah kepada warga masyarakat daerahnya, kalau pemimpin negeri kepada seluruh rakyatnya. Rela hidup sengsara demi rakyatnya, rela mati demi negeri.
Ini tentu tak sebatas slogan dan retorika. Sebab, cinta rakyat tiada guna jika sebatas retorika tanpa aksi nyata.
Itulah perlunya menyelaraskan ucapan dengan perbuatan. Dalam konteks kebijakan adalah bagaimana menyelaraskan program dengan kehendak rakyat.
Yah, rakyat yang sebelumnya telah menitipkan – memandatkan suaranya (saat pemilu, pileg, pilpres, dan pilkada) kepada para elite politik yang sekarang menjadi penguasa, hendaknya dalam dirinya menjelma kehendak rakyat.
Logika dasar demokrasi mengajarkan demikian. Bukan menjelmakan suara dirinya, kelompoknya menjadi suara rakyat. Bukan pula mengatasnamakan suara rakyat untuk kepentingan politik dirinya, kelompoknya dan kerabatnya.
Kini, saatnya para elite politik lebih memantapkan diri untuk mencermati kehendak rakyat dengan menyerap aspirasi berdasarkan fakta dan realita.
Bukan yang hanya berada di permukaan berisi pujian dan dukungan, tetapi menguak kenyataan yang sebenarnya dirasakan rakyat, utamanya di lapisan bawah yang acap terpinggirkan.
Poin-poin ini yang harus menjadi acuan, kemudian diselaraskan dalam kebijakan yang digulirkan dari tingkat pusat hingga daerah.
Rencana retret (pembekalan) seluruh kepala daerah secara serentak selama sepekan (21- 28 Februari 2025) di Akmil Magelang, dapat dimaknai sebagai upaya menyelaraskan suasana kebatinan dan kebersamaan.
Tak hanya menyelaraskan program pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, bukan pula sebatas menyelaraskan kebijakan terkait efisiensi anggaran.
Juga menyelaraskan satunya perkataan dengan perbuatan. Bagaimana setelah kepala daerah dilantik 20 Februari 2025, dan mendapat pembekalan di Magelang, pulang ke daerahnya langsung tancap gas memenuhi janji yang telah diucapkan semasa kampanye, sebagaimana halnya Presiden Prabowo memenuhi janjinya kepada rakyat yang kini sedang digencarkan untuk dijalankan.
Para kepala daerah wajib menyelaraskan satunya kata dengan perbuatan karena itulah sejatinya tuntutan masyarakat.
Perilakunya jauh menyimpang dari apa yang diucapkan, kebijakan tak selaras dengan yang telah dijanjikan, itulah tidak satunya kata dengan perbuatan.
Lantang menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi mendukung kebijakan yang meminggirkan kehendak rakyat. Mengaku berdiri paling depan membela rakyat kecil, tetapi menggusur keberadaan rakyat kecil, itu juga cermin tak selarasnya kata dengan perbuatan seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “kopi Pagi” di media ini.
Perilaku yang demikian tidak menjunjung tinggi etik dan moral sebagaimana telah dipedomani dalam falsafah bangsa kita sejak dulu kala yang kemudian dilegalkan bersamaan dengan berdirinya negeri kita tercinta ini.
Ada pesan moral yang relevan untuk saat ini, menyongsong pelantikan kepala daerah, ” Orang bijak akan malu, jika ucapannya lebih baik dari tindakannya”.
Tindakan yang dilakukan tak seindah rangkaian kata yang diucapkan. Apalagi, kalau sudah ucapannya tidak baik, tindakannya pun amburadul nggak karuan. Jauh dari etik dan moral bangsa. (Azisoko).