Warga keturunan Tionghoa bersembahyang di malam Tahun Baru Imlek 2576/2025, di Vihara Amurva Bhumi, Karet, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Januari 2025. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

Nasional

Perayaan Tahun Baru Imlek Simbol Toleransi di Indonesia

Rabu 29 Jan 2025, 09:39 WIB

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Philip Kuntjoro Widjaja mengatakan perayaan Tahun Baru Imlek merupakan momentum perayaan suka cita bagi seluruh orang tidak terhalang, suku, bangsa, dan agama.

Perayaan Imlek juga dapat menggambarkan bagaimana toleransi di Indonesia yang semakin baik. Berdasarkan kalender lunar, Tahun Baru Imlek 2576 akan menjadi tahun shio ular dengan elemen kayu.

"Semua orang boleh merayakan Imlek, karena ini bukan perayaan salah satu agama. Imlek merupakan perayaan tahun baru tradisional yang dirayakan berdasarkan kalender lunar," ujar Philip Kuntjoro kepada Poskota, belum lama ini.

Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2002 adalah keputusan yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional di Indonesia, maka semua masyarakat bisa merayakannya.

Baca Juga: 7 Makanan Khas Imlek yang Wajib Disajikan, Tradisi yang Menggugah Selera

Karena memang, Imlek dirayakan oleh orang yang menganut kalender lunar dan yang merayakannya, seperti di China, Mongolia, Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, termasuk Indonesia.

Peningkatan mutu toleransi di Indonesia juga terlepas semua pihak. Seperti pihak pemerintah juga selalu mendengungkan moderasi beragama, tidak ekstrim kanan dan tidak ekstrim kiri. Kemudian dari rakyat Indonesia sendiri, terutama dari toko-toko agama juga selalu menggalakkan bagaimana kehidupan interfaith atau kehidupan yang harmonis dan toleran antaragama. Apalagi saat ini masyarakat memiliki jalur komunikasi yang bagus dengan adanya internet.

"Bagaimana kita mempunyai toleransi, mempunyai rasa kasih sayang, mempunyai minat yang baik, mempunyai sesuatu untuk modal, untuk kebersamaan. Sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika, sesuai dengan poin-poin di Pancasila," ujar Philip Kuntjoro.

Kemudian dengan semakin dewasanya masyarakat dalam memanfaatkan teknologi komunikasi, maka masyarakat juga sudah membedakan antara hoaks atau suatu kebenaran. Masyarakat juga semakin mengerti bagaimana menjalankan kehidupan kehidupan interfaith. Baik itu toleransi antar suku bangsa, antar umat seagama, dan juga antar umat beragama.

Baca Juga: Shio Ular Kayu Jadi Tahun Penuh Perubahan

"Jadi kira-kira itulah yang kondisi yang ada. Sehingga toleransi itu adalah sesuatu yang setelah komunikasi satu sama lain, mempunyai kepahaman terhadap yang lain, dan waktu bertindak, waktu bersosialisasi, juga memikirkan orang lain itu rasanya," beber Philip Kuntjoro.

Philip Kuntjoro memberikan contoh bagaimana informasi yang semakin mudah didapat juga dapat menguatkan toleransi. Misalnya, jika orang yang menganut agama Budha atau selain Islam tidak akan menawarkan makanan daging babi kepada orang Islam. Karena mereka sudah mengetahui bahwa dalam syariat Islam daging diharamkan untuk dikonsumsi. Begitu juga seorang muslim tidak akan langsung marah, jika ditawari makanan haram oleh orang yang memang tidak tahu Islam.

"Kemudian kita lakukan sesuatu untuk adaptasi diri kita, itu yang disebut toleransi. Kalau toleransi masyarakat sudah meningkat, sudah meningkat, semuanya akan jadi lebih baik," jelas Philip Kuntjoro.

Di tahun baru Imlek ini, Philip Kuntjoro berharap agar masyarakat yang merayakan tahun baru Imlek tidak tidak terlalu berlebihan. Artinya kegembiraan itu juga dituangkan bukan hanya untuk foya-foya atau untuk pamer, tapi juga mengingat orang lain yang lagi kekurangan. Apalagi saat ini, kata dia, kemiskinan, pendzoliman, dan kesewenang-wenangan di mana-mana serta bencana alam yang datang bertubi-tubi.

"Itulah membuat makna sebuah perayaan itu makin lengkap karena yang gembira bukan dirinya sendiri, tapi bisa mengajak yang lain," pesan Philip Kuntjoro.

Imlek dan Toleransi di Depok

Ronald Fernandez, pengurus Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat (Buddha Tidur), mengungkap gambaran toleransi di vihara mereka dan sekitarnya. Dia mengatakan, lingkungan di Kampung Jati sangat kondusif dengan ikatan toleransi antarumat beragama yang kuat.

"Meskipun ada warga yang beragama Islam, kami semua tetap rukun dan damai. Dari dulu, warga Tionghoa dan penduduk peribumi sudah menjalin hubungan yang harmonis," kata dia saat ditemui Poskota di Kampung Jati, Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, belum lama ini.

Vihara Buddha Tidur, yang memiliki 21 altar untuk persembahyangan, juga mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan aparat kepolisian setempat, yang melihat keberagaman di Kampung Jati sebagai contoh nyata toleransi beragama. "Proses perizinan untuk vihara kami sangat mudah. Kecamatan Tajurhalang memang dijadikan contoh dalam hal toleransi beragama," kata Ronald.

Ronald juga menceritakan bahwa nenek moyangnya, Kong Banteng, merupakan pendatang dari Tangerang dan menetap di Kampung Jati pada masa ketika daerah ini masih merupakan perkebunan karet. "Sekarang Kampung Jati sudah menjadi perkampungan, dan meskipun ada berbagai perbedaan, kerukunan tetap terjaga," ujar Ronald. (ang)

Toleransi dan Keberagaman di Klenteng Bekasi

Kepala Seksi Klenteng Hok Lay Kiong, salah satu klenteng tua di Bekasi, Benny Gunawan, mengatakan, Kota Bekasi memiliki nilai toleransi yang sangat tinggi. Masyarakat Tionghoa sekitar klenteng telah lama melebur dengan penduduk lokal. Kelestarian budaya dan tenggang rasa antarumat beragama menjadi kunci bagi keberadaan Klenteng Hok Lay Kiong dan jemaatnya di tengah warga Kota Bekasi.

Klenteng Hok Lay Kiong, yang terletak di Jalan Kenari I, Margahayu, Bekasi Timur, Kota Bekasi, sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung. "Kami sering menerima kunjungan dari gereja, masjid, bahkan komunitas Muhammadiyah. Pemuda-pemuda lintas agama juga sering dilibatkan dalam kegiatan di sini," tambah Benny.

Klenteng yang telah berdiri lebih dari 3,5 abad ini menjadi simbol keberagaman dan kebersamaan. Meskipun tidak ada catatan tertulis, informasi yang diterima Benny menyebutkan bahwa klenteng ini dulunya berukuran kecil. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, rumah ibadah ini telah mengalami berbagai renovasi.

Benny menjelaskan, saat ini klenteng ini memiliki luas sekitar 1.000 meter persegi. "Hok Lay Kiong berasal dari dialek, di mana Hok berarti hoki (keberuntungan), Lay berarti datang, dan Kiong berarti istana. Jadi, nama ini bisa diterjemahkan sebagai 'Istana Rezeki'," jelasnya.

Tags:
ToleransiTahun BaruPermabudhiImlek ViharaVihara Hok Lay Kiong

Ihsan Fahmi, Angga Pahlevi, Ali Mansur

Reporter

Umar Mukhtar

Editor