Kopi Pagi: Pilgub Masa Depan (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Pilgub Masa Depan

Kamis 23 Jan 2025, 08:02 WIB

Pilkada melalui DPRD, memang belum menjamin sepenuhnya hilangnya politik transaksi, tetapi setidaknya menekan mahalnya biaya politik , disamping mengurangi potensi konflik di tengah masyarakat,”

-Harmoko-

Wacana pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD masih menuai kontroversi, menyongsong revisi paket undang – undang sistem politik dan pemilu. Tetapi lepas dari adanya pro kontra, perbaikan sistem politik, utamanya pemilu patut menjadi apresiasi bersama.

Makna yang hendak saya sampaikan perbaikan harus terus dilakukan sebagai bentuk adanya evaluasi atas sejumlah kekurangan yang sudah dirasakan. Tanpa perbaikan akan berdampak kepada kekurangan yang kian melebar dan boleh jadi liar.

Tanpa perbaikan dan pembenahan sistem, tak ubahnya pembiaran terhadap tantangan yang menghadang  kemajuan sistem demokrasi yang kita anut.

Kita sepakat, yang kurang diperbaiki, yang sudah bagus diteruskan, ditingkatkan dan dimantapkan eksistensinya. Salah satu solusinya adalah merevisi peraturan perundangan – undangan yang terkait dengan sistem politik negeri kita, sistem pemilu yang di dalamnya terdapat pileg, pilpres dan pilkada.

Tak kalah pentingnya pelibatan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang – undang  untuk mendorong meningkatnya  partisipasi politik masyarakat, menjadi hal yang mendasar.

Soal ini sudah saya singgung pada kolom ini (20/1/2025), termasuk sistem pileg dan pilpres serta pilkada.

Lantas bagaimana dengan adanya kehendak gubernur, dipilih oleh legislatif (DPRD Provinsi), tidak dipilih secara langsung sebagaimana halnya bupati dan wali kota? Jawabnya masih menjadi kontroversi.

Tentu, baik yang pro dan kontra memiliki argumentasi yang patut menjadi bahan pertimbangan bagi  pembentuk undang – undang.

Tidak dapat dipungkiri mengembalikan seluruhnya pemilihan kepala daerah kepada DPRD merupakan kemunduran demokrasi. Dinilai mengebiri hak rakyat sebagai pemegang utama kedaulatan.

Di sisi lain mencuat kekhawatiran akan adanya sentralistik kekuasaan, mengingat terdapat faktor determinan dari parpol untuk menentukan kepala daerah yang dikehendaki. Lazimnya keputusan DPP yang menjadi acuan dalam menentukan kandidat kepala daerah oleh kader partainya di daerah.

Ini aspirasi yang hendaknya menjadi pertimbangan dalam merumuskan undang – undang sistem pilkada, yang juga tak lepas dari upaya melindungi hak otonomi daerah.

Itulah sebabnya mencuat kehendak, termasuk dari kalangan DPR pemilihan bupati dan wali kota tetap dipertahankan untuk dipilih secara langsung, sedangkan pemilihan gubernur (pilgub) oleh DPRD Provinsi.

Dari asas otonomi daerah, pilkada merupakan wujud dari kebijakan desentralisasi politik. Artinya daerah punya otonomi memilih sendiri kepala daerahnya.

Hanya saja, dalam design kebijakan desentralisasi negeri kita, otonomi daerah itu sejatinya ada pada pemerintahan Kabupaten/Kota. Provinsi merupakan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Ada yang menyebutkan berfungsi sebagai koordinator di wilayah dimaksud.

Maknanya gubernur merangkap dua jabatan sekaligus, yakni sebagai kepala daerah dan juga wakil pemerintah pusat di daerah.

Ada juga alasan ideologis, jika otonomi berada di provinsi dikhawatirkan akan mengarah kepada federalisme, yang akan bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Dengan begitu, adanya wacana gubernur dipilih oleh DPRD bukan semata efisiensi anggaran,tetapi terdapat makna lain seperti disebutkan tadi.

Yang hendak saya sampaikan, apa pun bentuk aspirasi rakyat perlu diserap karena semuanya bertujuan demi perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara.

Disadari, pilkada melalui DPRD, memang belum menjamin sepenuhnya hilangnya politik transaksi, tetapi setidaknya menekan mahalnya biaya politik yang berarti upaya mencegah perilaku korupsi. Disamping mengurangi potensi konflik di tengah masyarakat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Tetapi apa pun alasannya, kembali kepada pemerintah dan DPR yang memiliki kewenangan dalam membentuk undang – undang, termasuk adanya desakan merevisi paket undang – undang politik yang belakangan kian mencuat.(Azisoko).

Tags:
kontroversiDPRDPilkadaKopi Pagi

Tim Poskota

Reporter

Ade Mamad

Editor