“Menjadi tanggung jawab bersama untuk memagari perkembangan demokrasi agar tidak melenceng dari ruhnya. Tidak melenceng dari pijakan awal berdirinya negeri ini sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, negara yang berkedaulatan dalam bingkai NKRI..”
-Harmoko-
Kita menganut sistem pemilu secara serentak baik itu pemilihan legislatif (pileg) pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Hanya saja, pelaksanaan pemilu yang tanpa jeda waktu yang cukup, dapat menimbulkan kelelahan dan kejenuhan politik.
Jarak yang begitu dekat antara pilpres dan pilkada yang lalu menjadi catatan penting, akibat menurunnya angka partisipasi politik masyarakat dalam memberikan hak suaranya.
Itulah sebabnya, mencuat banyak usulan agar jarak pemilu yang satu ke pemilu lainnya tidak terlalu dekat, setidaknya dengan jeda setahun seperti halnya ketika menyelenggarakan pilkada ulang.
Itu baru dari jeda waktu, belum lagi urgensi pemilu dikaitkan dengan terbentuknya tatanan kenegaraan dan pemerintahan.
Melalui kolom ini, Senin (13/1/2025) lalu disampaikan bahwa setidaknya terdapat dua hal penting yang menjadi prioritas dalam revisi undang – undang tentang pemilu.
Pertama, merumuskan ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Kedua, menentukan jadwal pelaksanaan pemilu legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Mengenai ambang batas parlemen telah diulas pada kolom ini. Lantas bagaimana merumuskan jadwal pemilu ke depan? Jawabnya akan beragam, tetapi prinsip dasarnya adalah bagaimana pemilu disambut suka cita oleh rakyat.
Ibarat pesta adalah pesta yang menggembirakan, bukan melelahkan, bukan pula membosankan. Boleh jadi pesta digelar begitu mewah, tetapi jika tidak banyak dihadiri oleh undangan, hajatan besar akan sia- sia.