Jelang pengumuman hasil perolehan suara pilkada Jakarta, legitimasi hasil pilkada mulai dipertanyakan berbagai kalangan. Yang dipertanyakan bukan soal rekapitulasi,tetapi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada.
Sejumlah pengamat mengatakan jumlah partisipasi pemilih pada pilkada Jakarta 2024 dilaporkan yang terendah sepanjang sejarah pemilu.
Angka partisipasi pemilih yang mendatangi TPS menggunakan hak pilihnya tercatat hanya sekitar 4,3 juta suara dari jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 8,2 juta.
Ditaksir sekitar 3,9 juta pemilih tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Dinilai memprihatinkan karena angkanya cukup besar. Lebih besar dari angka tertinggi perolehan suara pasangan calon.
Sebagaimana rekapitulasi sementara KPU Jakarta, paslon Pramono-Rano menduduki posisi teratas dengan 2.183.239 suara.
“Dapat dikatakan angka kemenangan pilkada lebih rendah dari angka golput ya..,” kata bung Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi.
“Kalau otak- atik angka memang begitu adanya. Tetapi jangan kalian kemudian menafsirkan golput sebagai pemenangnya karena angkanya paling besar,” ujar mas Bro mengingatkan.
“Ya enggak lah. Kemenangan tetap ditentukan oleh suara tertinggi yang diperoleh oleh masing-masing kontestan. Itu pun surat suara yang sah. Bahkan untuk pilkada Jakarta, pemenang harus memperoleh suara sedikitnya 50 persen plus 1,” kata Heri.
“Tapi ada pengamat yang menilai legitimasi hasil pilkada menjadi abu-abu akibat rendahnya partisipasi masyarakat untuk memilih,” kata Yudi.
“Itu dapat dipahami karena secara teori legitimasi politik berkurang, jika yang datang untuk memberikan suaranya rendah. Semakin tinggi tingkat partisipasi rakyat, kian tinggi legitimasi, apalagi dibarengi dengan perolehan suara mayoritas,” jelas mas Bro.
“Lazimnya kita menganut ambang batas mayoritas di atas 50 persen. Keputusan misalnya, dianggap sah jika disetujui lebih dari 50 persen peserta yang hadir. Rapat di DPR memenuhi kuorum jika dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota,” kata Heri.
“Mencegah penilaian legitimasi abu-abu, sepertinya perlu ada aturan ambang batas tingkat partisipasi pemilih, misalnya lebih dari 50 persen daftar pemilih tetap,” ujar Yudi.
“Setuju dengan usulan ambang batas, tetapi persentasenya harus lebih besar sebagai representasi rakyat, minimal lebih 3/4 jumlah pemilih tetap memberikan hak pilihnya. Pemenang di atas 50 persen dari suara yang masuk,” ujar mas Bro.
“Loh soal aturan pilkada itu urusan DPR dan pemerintah,” ujar Heri.
“Ini kan sebatas obrolan rakyat kecil,” urai mas Bro. (Joko Lestari).
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.