POSKOTA.CO.ID – Jelang lengsernya Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah memimpin Indonesia pada 20 Oktober 2024, terdapat beragam penilaian bagi pemerintahannya.
Yang banyak disorot adalah penilaian mengenai kinerjanya yang dianggap tidak memuaskan, salah satunya dari akun YouTube Remotivi, bertajuk Rapor Merah Jokowi 10 Tahun Memimpin Indonesia.
Permasalahan yang terlihat menonjol dalam periode kedua ini adalah berkaitan dengan turunnya Indeks Demokrasi Indonesia.
Menurut akun itu, di periode pertama Presiden Jokowi mendapatkan rapor merah dalam hal demokrasi kata beberapa peneliti politik. “Nilainya bukan cuman jelek tapi rekor terjelek setelah hampir 20 tahun lalu,” ungkapnya.
Rapor Merah Jokowi
Lalu bagaimana dengan periode kedua? Diketahui bahwa dalam periode ini ada banyak regulasi yang dirancang untuk membungkam orang-orang kritis di era Jokowi, seperti UU ITE.
UU ITE sudah direvisi dua kali, revisi pertama pada 2016 dan revisi kedua pada 2024. “Kalau udah direvisi dua kali kan harusnya jadi bagus ya. Nah ini nih uniknya, periode yang sekarang makin parah,” ujarnya.
Melansir Freedom House, indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023.
Begitu juga dari data Reporters Without Borders yang menunjukkan skor kebebasan pers di Indonesia turun dari 63,23 poin pada 2019, menjadi 54,83 poin pada 2023.
“Bahkan nih ya, demokrasi kita sempat juga disebut Float atau demokrasi cacat sama Economic intelligence unit malu nggak sih?” tandasnya.
Akun tersebut mengatakan bahwa pada periode yang kedua ini ada banyak regulasi yang dirancang untuk membungkam orang-orang kritis.
Ada yang masih dirancang dan yang ada juga sudah disahkan di era Jokowi, khususnya yang berdampak pada iklim demokrasi.
Di Indonesia sendiri terdapat tiga instrumen yang sudah jadi produk hukum. Yang pertama adalah Undang-Undang ITE.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Disebutkan bahwa dari 2013 sampai 2023, sudah ada 612 kasus terlapor karena UU ITE. Dan dalam 2 tahun belakangan ini sudah ada 219 kasus di era Jokowi.
“UU ITE uniknya ini revisi yang pertama nih pasal karet yang selama ini dikritik ternyata masih dipertahankan, bahkan proses revisinya juga tidak transparan,” terangnya.
Kemudian revisi kedua pada 2024 juga prosesnya dinilai masih tidak transparan. Dan pasal karetnya bertambah, ini karena adanya tambahan pasal baru yang dinilai salah kaprah.
Sebab dalam pasal tersebut, negara bisa memutus akses informasi yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
Perpres Nomor 32 tahun 2024
Produk hukum kedua ini mengontrol konten apa yang boleh dan tidak boleh ada di dalam platform digital, terutama konten-konten berita atau konten-konten jurnalisme.
Aturan ini mengacu ke undang-undang (UU) Pers. Jadi jika ada konten yang dianggap tidak sesuai dengan UU Pers, akan dihilangkan dari platform digital dan hanya bisa diakses dari situs perusahaan persnya.
“Jelas kebijakan berwatak sensor ya guys. Ya memang engak seekstrem zaman orba sih sensornya tapi tetap bertentangan sama semangat anti sensor UU pers,” terangnya.
Sebab, UU Pers sebenarnya memperbolehkan siapapun untuk menanggapi atau mengoreksi berita yang dianggap tidak sesuai.
Keputusan Menteri Kominfo Nomor 172 Tahun 2024
Produk Hukum ketiga ini turunan dari Permen Kominfo nomor 5 tahun 2020 yang membuat negara memiliki wewenang untuk memaksa platform digital untuk men-take down content yang meresahkan.
Ancamannya yakni dengan pemberlakuan denda. “Coba lu bayangin kalau lu jadi tiktok daripada kena denda kan mending take down kontennya aja ya, lebih simpel Kan,” tandasnya.
Masalahnya, yang menilai sebuah konten meresahkan atau tidak tergantung dari Kominfo sendiri. “Padahal kayaknya Kominfo ya yang meresahkan kita semua,” tambahnya.
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.