Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memerintahkan JPU KPK membebaskan terdakwa hakim agung nonaktif Gazalba Saleh. (Poskota/Ramot Sormin)

NEWS

Pengadilan Tipikor Jakpus Perintahkan Gazalba Saleh Segera Dibebaskan dari Tahanan

Senin 27 Mei 2024, 16:27 WIB

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memerintahkan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera membebaskan terdakwa hakim agung nonaktif Gazalba Saleh dari tahanan karena penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima.

"Mengadili, mengabulkan nota keberatan dari tim penasehat hukum terdakwa Gazalba Saleh," kata Fahzal Hendri, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dalam putusannya, Senin, 27 Mei 2024.

Adapun alasan majelis hakim tidak dapat menerima dakwaan karena jaksa yang ditugaskan menangani kasus Gazalba Saleh tidak melengkapi surat-suratnya atau administrasinya seperti surat delegasi dari Jaksa Agung Republik Indonesia (RI).

"Tidak pernah mendapatkan pendelegasian penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi sesuai asas single prosecution system," kata majelis hakim.

Menurut majelis hakim, surat perintah Jaksa Agung RI tentang penugasan jaksa untuk melaksanakan tugas di lingkungan KPK dalam jabatan Direktur Penuntutan tidak defenitif.

"Artinya, tidak disertai pendelegasian wewenang sebagai penuntut umum dan tidak dengan keterangan maupun penjelasan tentang pelaksanaan wewenang serta instruksi dan petunjuk tentang penggunaan wewenang. Sehingga dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat pendelegasian tersebut, maka Direktur Penuntutan KPK tidak memiliki kewenangan sebagai penuntut umum dan tidak berwenang melakukan penuntutan kasus tindak pidana korupsi serta tindak pidana pencucian uang," kata majelis hakim.

Sesuai surat perintah Jaksa Agung, lanjutnya, bahwa Jaksa Agung menunjuk jaksa untuk bertugas di KPK, dan tidak serta merta berwenang sebagai penuntut umum dalam kasus terdakwa Gazalba Saleh karena harus lebih dahulu diterbitkan surat penunjukan penuntut umum untuk menyelesaikan kasus tersebut dari Direktur Penuntutan KPK. 

Padahal Direktur Penuntutan KPK belum mendapatkan pendelegasian penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi berdasarkan Pasal 18 ayat 1 UU No 11 tahun 2021 tentang perubahan UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

"Bahkan faktanya, Direktur Penuntutan KPK yang oleh komisioner KPK bukan seorang penuntut umum karena kewenangan tersebut telah dihapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU No 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," tegas majelis hakim.

Selain itu majelis hakim juga mempertimbangkan pula sebagai alasan lainnya menolak dakwaan jaksa KPK yakni Pasal 1 angka 6 KUHP yang berbunyi a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. B. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh uu ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

"Secara yuridis, KUHAP tidak mengenal jaksa penuntut umum, sehingga surat perintah Jaksa Agung RI tidak menunjukkan adanya pendelegasian melainkan hanya penugasan seseorang atau lebih jaksa kepada lembaga KPK," terang majelis hakim.

Selanjutnya pendapat majelis bahwa seluruh penuntutan di Negara Republik Indonesia termasuk yang dilakukan oleh KPK maupun lembaga lain hanya dapat dilakukan oleh penuntut umum dengan syarat telah menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung RI sesuai asas single prosecution system dan dominus litis.

"Hanya Jaksa Agung yang menjadi penuntut umum tunggal yang memiliki kewenangan tunggal untuk melakukan penuntutan tindak pidana di Republik Indonesia," pungkasnya.

Namun demikian, majelis menyampaikan bahwa putusan yang dibacakan belum bersifat final karena disamping belum menyentuh pokok perkara.

"Ini hanya persyaratan. Kalau ada surat itu, bisa diajukan lagi (dakwaan). Jadi hanya formalitasnya saja. Ini hanya pendapat dari majelis hakim atas adanya UU No 11 tahun 2021 tentang Kejaksaan Agung," kata majelis.

Majelis mengutarakan jika penuntut umum akan melanjutkan kasus Gazalba Saleh lagi agar dilengkapi surat-suratnya.

"Silakan dilengkapi surat-suratnya, pendelegasiannya, administrasinya, nanti dapat diajukan lagi. Jadi putusan ini tidak masuk terhadap materi, belum sampai ke pasal-pasal. Salah atau tidak belum sampai ke situ," pungkasnya.

Usai putusan dibacakan, terdakwa Gazalba Saleh langsung putar balik keluar dari ruang sidang dengan memakai masker dan topi. 

Gazalba Saleh menjadi sorotan saat dia dibebaskan majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat awal Agustus 2023 dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. 

Majelis hakim kala itu menyatakan Gazalba Saleh tidak terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum KPK. Tak lama setelah putusan, jaksa KPK melakukan perlawanan dengan mengajukan kasasi ke MA, namun permohonan KPK tersebut ditolak.

Tak sampai di sana, KPK menjerat Gazalba Saleh dengan kasus gratifikasi dan TPPU. Terdakwa diduga menerima Rp 650 juta dari Jawahirul Fuad terkait perkara kasasi yang merupakan pemilik UD Logam Jaya.

Terdakwa Gazalba kemudian didakwa dengan Pasal 12 huruf b jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Kedua didakwa Pasal 3 UU No 8  Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (Ramot Sormin)

Dapatkan berita pilihan editor dan informasi menarik lainnya di saluran WhatsApp resmi Poskota.co.id. GABUNG DI SINI

Tags:
Pengadilan Tipikorgazalba salehKPK

Ramot Sormin

Reporter

Firman Wijaksana

Editor