Kopi Pagi Harmoko: Sumpah politik

Kamis 23 Nov 2023, 06:30 WIB

-“Ingatlah selalu, janji saja wajib dipenuhi, apalagi ikrar, dan kontrak politik.
Lebih – lebih calon atau pejabat yang telah bersumpah dengan menyebut nama
Allah, kewajiban menepati jauh lebih tinggi..”

-Harmoko-

KATA “janji” acap diucapkan dalam pergaulan sehari-hari. Kita sering mengucapkan janji untuk meyakinkan kepada teman,sejawat, dan kerabat untuk bertemu minum kopi, menghadiri sebuah acara, bahkan dalam kontek kepedulian

Jika janji tidak ditepati, kekecewaan akan dirasakan oleh mereka yang telah
dijanjikan, lepas tidak memenuhi janji karena ada hal yang lebih emergency.
Boleh jadi kecewa hati akan berubah menjadi simpati, kalau hal yang emergency tadi telah teruji.

Tetapi tidak demikian halnya dengan janji politik. Publik tidak akan memahami
situasi apakah itu emergency atau ada hal lain sehingga menjadi ingkar janji.

Mengapa? Janji politik adalah janji dengan memberi harapan yang ditebar kepada publik sebagai salah satu strategi untuk meraih kekuasaan sebagaimana tujuan berpolitik.  

Janji itu akan ditepati, jika publik mendukungnya, memilihnya apakah itu dalam pilpres, pileg atau pun pilkada. Masyarakat diminta terlebih dahulu memenuhi harapan, baru kandidat yang terpilih memenuhi janjinya.

Dengan kata lain “pilih saya dulu, baru janji akan saya penuhi”. Tetapi fakta yang terjadi, yang sudah terpilih pun, tak sedikit yang lupa akan janjinya. Ini sudah menjadi gejala umum yang dipahami masyarakat.

Karena seringnya terjadi, kadang masyarakat memaklumi tidak semua janji politik ditepati. Karena sikap maklum tadi, masyarakat menjadi tidak tergoda lagi dengan janji politik.

Tingkat kepercayaan masyarakat atas janji politik menurun. Ada yang menyebutnya, tidak lagi percaya kepada janji politik.

Itulah kemudian muncul istilah ikrar politik, kontrak politik, setingkat lebih maju ketimbang janji politik yang hanya diucapkan secara lisan.

Ikrar tingkatannya lebih tinggi karena ada peneguhan hati bagi yang mengucapkan janji. Sering dibarengi dengan membacakan janjinya, ikrar kepada seseorang, kelompoknya, komunitasnya, atau masyarakat calon pemilihnya. Terdapat pula kehadiran saksi.

Begitu juga dengan kontrak politik, selain janji dinyatakan secara tertulis, ditandatangani oleh pihak yang membuat janji. Rasa tanggung jawab lebih
besar, ketimbang pernyataan secara lisan.

Tetapi apakah ikrar dan kontrak politik dapat terpenuhi? Jawabnya kembali kepada masing – masing pribadi yang membuat janji, ikrar dan kontrak politik.

Hanya saja kontrak politik jelang pemilu sekarang ini menjadi mode bagi kandidat untuk meraih dukungan guna memenangkan kontestasi. Namun, patut diingat bahwa kontrak politik bukanlah sebuah akta perjanjian hukum yang membuka peluang melakukan gugatan, jika tidak dipenuhi.

Meski janji, ikrar dan kontrak politik hanya berdampak kepada tanggung jawab
moral, tetapi tidak lantas diabaikan begitu saja.

Melalui kolom ini pernah kami singgung bahwa janji adalah utang yang harus dilunasi karenanya menuntut sebuah konsistensi bagi mereka yang telah membuat janji.

Memang janji hanya memiliki kekuatan moral, tetapi buka lantas boleh dianggap enteng, seenteng ketika mengucapkannya, namun berat ketika harus memenuhinya.

Justru sebagai politisi – calon pemimpin negeri, kandidat calon pejabat dan
wakil rakyat hendaknya menjunjung tinggi nilai –nilai moral sebagaimana yang
tercermin dalam nilai – nilai luhur falsafah bangsa kita, Pancasila, bukan malah
meremehkannya.

Pertanyaannya kemudian, haruskah para elite politik yang hendak berlaga dalam
pemilu 2024, membuat “sumpah politik” guna menepis keraguan publik.
Jawabnya akan beragam

Sumpah diakui memiliki tingkatan yang lebih tinggi ketimbang janji, ikrar ataupun kontrak politik.

Melalui sumpah politik, selain janji tertulis, dibacakan di depan khalayak, ada
kehadiran saksi ahli yang memandu pelaksanaan sumpah kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa dengan mengawali ucapan "demi Allah" bagi seorang muslim.

Bobot tanggung jawabnya lebih tinggi, dengan harapan melalui sumpah politik,
dapat meminimalisir kasus ingkar janji politik.

Meski belum menjamin takkan lahirnya “sumpah palsu”, sebagaimana janji palsu, dan ikrar dan kontrak palsu, tetapi dengan mengucapkan sumpah, setidaknya bisa menjadi alat pengingat bagi pejabat yang telah dipilih rakyat.

Ada pesan moral yang ditulis pujangga besar Jawa dari Kasunanan Surakarta,
yakni Raden Ngabehi Ronggo Warsito tentang konsep eling lan waspada lewat
serat Kalatidha. 

Sabegja - begjaning lali, luwih begja kang eling lan waspada, artinya,  seberuntung -
beruntungnya orang yang lupa (lalai), masih lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada.

Jika ada keraguan atas kemampuannya dapat memenuhi  janji, lebih baik tidak menebar janji,ikrar, kontrak politik, lebih – lebih sumpah politik seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Ingatlah selalu, janji saja wajib dipenuhi, apalagi ikrar, dan kontrak politik. Lebih – lebih calon atau pejabat yang telah bersumpah dengan menyebut nama Allah, kewajiban menepati jauh lebih tinggi. (Azisoko).

Berita Terkait

Kopi Pagi Harmoko: Relawan

Senin 04 Des 2023, 06:08 WIB
undefined

Kopi pagi: Kebijakan 5 Pro (4)

Kamis 18 Jan 2024, 06:00 WIB
undefined

News Update