JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menyesalkan pemikiran Calon Presiden (Capres) Koalisi Indonesia Maju yang meminta agar kaum buruh jangan banyak menuntut upah ke pengusaha karena jika dia terpilih akan memberikan banyak subsidi.
"Perspektif di pemikiran Prabowo itu adalah business bias atau pengusaha bias. Jadi bias kepada pengusaha, bukan bias kepada keadilan, dalam hal ini keadilan bagi kaum buruh," tegas Jumhur dalam siaran tertulisnya pagi ini.
Jumhur menguraikan labour revenue atau pendapatan buruh dan juga capital revenue dalam satu usaha di Indonesia masih sekitar 39%, paling rendah di Asean Five. Sementara di dunia yang lebih beradab seperti di Eropa bisa sampai 60% pendapatannya untuk buruh.
Jadi, lanjut Jumhur, mereka lebih menghargai kaum buruh. Sementara kita masih jauh di bawah itu. Karena itu, Jumhur menilai, kalau buruh ingin pendapatan lebih dari sisi itu masih masuk akal.
Peran Negara
Berbicara soal investasi, Ketua Umum KSPSI itu mengutip ekonom Faisal Basri yang sudah membuat gambaran bahwa keluhan investor soal perburuhan itu hanya urutan ke-11. Yang pertama itu ketidakpastian kebijakan, perpajakan, dll.
Jumhur juga menyampaikan dari 2003 sampai sebelum lahirnya UU Omnibus Law itu pertumbuhan ekonomi kita tinggi dengan peraturan yang lama. Namun sekarang dibuat peraturan yang lebih merendahkan kesejahteraan kaum buruh, sementara pertumbuhan segitu saja malah nyungsep.
"Jadi tidak ada hubungan antara kita menservis pengusaha dengan pertumbuhan tinggi, tidak ada hubungan itu. Yang ada malah bisa sebaliknya karena pertumbuhan disumbangkan 56-57% dari belanja masyarakat," jelas Jumhur.
Ia mengingatkan, kalau kaum buruh tidak memiliki upah yang cukup, maka daya beli rendah, UMKM terpukul. Sektor-sektor yang memberikan produksi massal juga akan terpukul, termasuk yang berteknologi tinggi seperti motor, sepeda, peralatan rumah tangga dan tentunya seperti garmen dan sebagainya karena masyarakat tidak memiliki uang untuk membelinya.
"Jadi perspektifnya tidak boleh jangka pendek, itu perspektif abad 18 sampai awal abad 20 dimana pokoknya kaum buruh diperas setinggi-tingginya untuk mendapatkan keuntungan bagi pengusaha."
Menurut Jumhur di sini negara abai tidak mau berperan, malah banyak hal yang bisa memberikan keuntungan lebih bagi pengusaha tapi gara-gara negara gagal menghadirkan satu servis buat mereka, maka keuntungan pengusaha terpotong.