“Perlu memajukan dan mengembangkan keunggulan alami menjadi keunggulan
baru yang modern. Juga, menciptakan keunggulan - keunggulan baru, sebagai
sebuah kreasi yang sesuai dengan eranya..”
-Harmoko-
Nasionalisme tak sebatas mencintai negerinya, tumpah darahnya, tanah airnya
serta bangsanya. Nasionalisme termasuk di dalamnya mencintai produk
Indonesia, produk lokal, produk bangsa sendiri, bukan barang impor.
Gerakan cinta produk lokal sudah sejak lama digelorakan, tetapi hasilnya belum
sebagaimana diharapkan. Para elite, pejabat dan birokrat, belum secara riil
berpihak kepada produk lokal. Bukan saja dalam penggunaan, juga kebijakan
belanja negara masih didominasi dengan produk impor.
Di APBN, realisasi belanja produk lokal baru mencapai 69 persen, sementara di
APBD lebih kecil lagi, hanya mencapai 56 persen.
Sentilan soal masih banyak belanja barang impor, disampaikan Presiden Jokowi
dalam pembukaan Rakernas Korpri di Ancol, Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Seperti dikatakan, lembaga pemerintah masih hobi membeli barang – barang
impor, sementara abai mendorong suksesi pertumbuhan ekonomi masyarakat
lewat pembelian produk lokal, hasil karya usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM).
Ini dapat dimaknai, UMKM terus menggenjot produknya, hasil karyanya,
mengembangkan usahanya, tetapi jika pemerintah sendiri, selaku pengambil
kebijakan, pembina, kurang peduli atas hasil produknya, bagaimana UMKM
akan menjadi tuan ekonomi di negeri sendiri.
Peduli, diartikan ikut menyerap pasar, memberi keteladanan dengan
menggunakan, memakai produk lokal.Bukan masyarakat diminta menggunakan
produk lokal, sementara pihaknya sendiri, tidak memberi teladan.
Yang hendak saya sampaikan adalah gerakan mencintai produk dalam negeri,
harus diawali oleh pemerintah sendiri, para pengambil kebijakan dengan
sebanyak mungkin menyerap produk lokal.
Ini yang disebut kebijakan harus selalu memihak usaha kecil mengembangkan
produk unggulannya mulai dari hulu hingga hilir. Mulai dari pembinaan teknis,
permodalan hingga pemasaran. Mulai dari pemberian keterampilan, pelatihan
untuk menciptakan keunggulan produk hingga membuka peluang pasar yang
lebih besar, bukan sebatas di tingkat lokal, regional, tetapi unggul di panggung
dunia.
Tak kalah pentingnya adalah perilaku konsumen, utamanya para pejabat,
birokrat dan keluarganya untuk memberi teladan dalam penggunaan produk
dalam negeri.
Tren flexing barang mewah, utamanya produk luar negeri (barang impor)
hendaknya diganti dengan update status mempromosikan keunggulan produk
lokal.
Dengan seringnya pamer kepemilikan barang impor di media sosial, tak
ubahnya ikut mengunggulkan dan mempromosikan produk negara lain.
Dampaknya, produk impor kian populer, sementara produk lokal semakin jauh
tergeser.
Menjadi renungan kita bersama, bagaimana produk lokal akan menjadi unggul
di dunia, jika masyarakat kita lebih mengunggulkan produk negara lain dengan
meneruskan hobinya membeli barang impor, lantas memamerkannya di media
sosial.
Perilaku konsumen perlu diubah, barang branded bukan karena impor dan
mahal harganya, sepatu atau tas seharga puluhan juta. Tetapi, barang disebut
branded, jika produk negeri kita, harganya terjangkau semua kalangan.
Dengan membeli banyak produk lokal, kita menjadi pejuang negeri memajukan
ekonomi rakyat negeri sendiri. Ikut memakmurkan bangsa sendiri.
Sebaliknya dengan hobi membeli barang impor tak ubahnya ikut memperkaya
negara lain, tetapi mematikan produk lokal.
Produk lokal akan unggul di dunia, jika didukung penuh oleh masyarakat
sebagai konsumen terbesar.
Para elite politik, pejabat dan birokrat beserta keluarganya memberi keteladanan
sebagai konsumen fanatik produk lokal. Stop belanja barang impor, meski
dengan iming – iming, barang mudah didapat sampai di tempat dengan harga
lebih murah.
Sejalan dengan itu, saatnya negara lebih hadir melindungi usaha mikro, kecil,
dan menengah. Perlindungan tidak selesai hanya dalam pelaksanaan program,
tetapi sampai kepada terwujudnya kemandirian karena terciptanya keunggulan
yang mendunia seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di
media ini.
Hal lainnya, pelaku usaha kecil dan menengah, perlu terus berkreasi dan
berinovasi , di antaranya merawat dan melestarikan keunggulan yang sudah
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Memajukan dan mengembangkan keunggulan
alami menjadi keunggulan baru yang modern. Juga menciptakan keunggulan -
keunggulan baru, sebagai sebuah kreasi yang sesuai dengan eranya. (Azisoko)