“Brand yang dibangun hendaknya dilakukan secara transparan, proporsional,
apa adanya, apa yang dicitrakan sesuai dengan kenyataan. Tidak juga bias,
tidak melebih –lebihkan, apalagi sampai memanipulasi diri sendiri..”
-Harmoko-
POLITIK sejatinya adalah kekuasaan. Ketika kekuasaan digunakan untuk sebesar
–besarnya kemakmuran rakyat, politik apapun, tidak masalah. Begitu juga
beragam strategi politik yang dilakukan untuk mencapai “goals”, tidaklah
menjadi persoalan, sepanjang tidak melanggar aturan main, ataupun memasung
dinamika demokrasi. Lebih – lebih ditujukan untuk kemajuan bangsa dan
negara.
Branding politik menjadi satu strategi menciptakan citra atau reputasi parpol,
politisi, kader, calon wakil rakyat, kandidat kepala daerah hingga capres –
cawapres. Dengan mem-branding, berarti menciptakan identitas diri bagi si
politisi dimaksud, apa pun yang hendak diraih.
Melalui identitas diri, image, gambaran utuh, dan reputasi yang telah terbentuk
dapat menciptakan hubungan saling percaya antara politisi/kandidat dan
masyarakat sebagai konsumen politik.
Kepercayaan semakin tinggi, jika telah terbentuk kesan positif, perasaan
mendalam dari masyarakat terhadap kandidat yang bersangkutan, sebagaimana
konsumen yang sudah jatuh cinta atas sebuah produk karena telah teruji
kualitasnya.
Itulah sebabnya, branding menjadi penting membantu organisasi politik seperti
partai politik, politisi, kandidat wakil rakyat dan calon pejabat untuk mendulang
dukungan. Kata kunci membangun brand, ada pada komunikasi politik yang
dilakukan baik oleh organisasinya, lembaganya, institusi pendukungnya, tak
terkecuali individu, bagaimana mengemas personal branding (citra diri) di
hadapan publik.
Boleh jadi institusinya hebat, jaringan pendukungnya kuat dan merakyat, tetapi
jika citra diri dari kandidat lemah, komunikasi kurang terarah, kadang salah
arah dan langkah, dapat diduga pencapaian akan rendah.
Acap terjadi, branding yang sudah dibangun bertahun – tahun, dalam sekejap
musnah, hanya karena salah langkah. Gaya komunikasi, gestur tubuh, ucapan
dan perbuatan yang dilakukan tidak memunculkan simpati, bahkan
menghasilkan antipati.
Di sinilah perlunya mengemas komunikasi yang baik, sejalan dengan situasi dan
kondisi, eranya, tempatnya,dan audiens. Sorotan semakin tajam dan meluas,
lebih – lebih di era digital seperti sekarang ini, jelang pilpres dan pemilu serta
pilkada.
Sering diakui, political branding menjadi salah satu strategi komunikasi yang
memungkinkan parpol atau kandidat mengontrol pesan, mengenalkan diri,
membangun kepercayaan dan memotivasi pemilih mendukungnya.
Diharapkan dengan political branding, parpol atau kandidat dapat
meningkatkan kredibilitas, elektabilitas dan loyalitas para pendukungnya.
Namun, sebagus apa pun branding yang dibangun, kembali kepada visual
identity dan personality sebagai daya tarik utama meraih kemenangan, apakah
dalam pilpres, pileg maupun pilkada.
Ingat! Pemilu kita menganut asas proporsional terbuka, memilih langsung calon
wakil rakyat, calon kepala daerah hingga paslon capres – cawapres, bukan
partai pendukungnya.
Tidaklah berlebihan kiranya di tengah jalan, jelang pilpres atau pilkada, bahkan
jelang pendaftaran capres, calon kepala daerah, terjadi perubahan komposisi
atau tukar pasangan calon. Boleh jadi, satu penyebabnya karena visual identity,
penampilan kandidat selama ini belum mampu mengatrol tingkat keterpilihan
atau, malah dinilai melemahkan parpol pendukungnya.
Mengganti kandidat di tengah jalan, bisa disebut sebagai langkah rebranding
(menata kembali brand yang dibangun), dengan tujuan untuk mengatrol tingkat dukungan dan keterpilihan.
Dalam dunia bisnis, rebranding bisa dilakukan secara total menyeluruh dengan
mengganti logo, organisasi, visi dan misi, tagline dengan maksud lebih cepat
mencapai target dan sasaran.
Di dunia politik, tentu dengan tujuan meningkatkan popularitas, elektabilitas,
loyalitas para pendukungnya, fansnya, simpatisannya. Dengan harapan,
terkatrol tingkat dukungan dan keterpilihan.Goalsnya, adalah kemenangan
dalam pemilu, baik partainya maupun capresnya.
Hanya saja brand (citra diri) yang dibangun hendaknya dilakukan secara
transparan, proporsional, apa adanya, apa yang dicitrakan sesuai dengan
kenyataan. Tidak juga bias, tidak melebih-lebihkan untuk menutupi
kekurangan, apalagi sampai memanipulasi diri sendiri, seperti dikatakan Pak
Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini..
Citra diri yang dikemas dengan kepalsuan, lebih – lebih di luar batas kewajaran
yang diwarnai sikap arogan, yang tak sesuai etika budaya kita, akan melahirkan
dukungan semu. Boleh jadi bukan simpati yang didapat, tetapi antipati.
Itulah sebabnya dalam membangun brand harus memahami karakter
konsumennya, masyarakat pemilih. Tidak asal membangun. (Azisoko).