KOREA SELATAN, POSKOTA.CO.ID - Peristiwa 75 tahun Pemberontakan Jeju diperingati di Korea Selatan.
Lebih dari 10 ribu orang tewas dan ribuan hilang akibat pemberontakan yang berlangsung dari 1948 - 1954.
Umat Katolik di Korea Selatan bergabung dalam peringatan tersebut. Mereka menyerukan pengampunan dan rekonsiliasi.
Komite Pastoral Sosial Keuskupan Jeju menyelenggarakan Forum Sukacita dan Harapan Jeju ke-2 di Pusat Pendidikan Perdamaian di Taman Perdamaian Jeju, situs Keuskupan Agung Seoul.
Acara pada tanggal 29 Maret ini merupakan bagian dari program peringatan tersebut.
Uskup Pius Moon Chang Woo dari Jeju meminta umat Katolik untuk mengupayakan perdamaian, pengampunan, dan rekonsiliasi selama acara tersebut. Demikian dikutip dari Union of Catholic Asian News.
Dia mengatakan,”Ketika orang Kristen mengingat kematian dan kebangkitan Yesus 2.000 tahun yang lalu melalui Misa, kita harus berdoa untuk pengampunan, rekonsiliasi, keadilan, dan perdamaian terjadi di sini dan sekarang.”
“Ini juga alasan mengapa kita harus terus berbicara tentang rasa sakit dari insiden itu,” tambah prelatus itu.
Acara tersebut diadakan sebelum peringatan pada 3 April dan dihadiri Uskup Emeritus Peter Kang Uil dari Jeju, Komisaris Kim Jong Min, penulis Hyeon Ki Yeong yang menulis “Paman Suni”, sebuah buku tentang pemberontakan, dan pejabat lainnya.
Pemberontakan Jeju dipimpin komunis di Pulau Jeju Korea Selatan pasca pembagian Semenanjung Korea.
Pasukan keamanan dituduh melakukan kekejaman massal terhadap para pemberontak sejak awal revolusi 1948.
Tindakan itu berlangsung dari 1948 - 1954 dan merupakan bagian dari divisi ideologis Korea setelah pembebasan dari penjajahan Jepang.
Sebuah komite pemerintah pada 2017 menemukan 10.244 tewas selama pemberontakan.
Lebih dari 3.500 dinyatakan hilang sementara kisah lain menyebutkan jumlah korban tewas jauh lebih tinggi.
Pemerintah Korea Selatan menutup-nutupi kejadian tersebut dan pembunuhan massal tersebut secara resmi diakui oleh mereka pada 1990-an.
Uskup Emeritus Peter Kang Uil dari Jeju menunjukkan Gereja Katolik dan para rohaniwan terlibat dalam merawat para korban dan anggota keluarga mereka yang masih menderita trauma dan kesedihan.
“Orang-orang sering bertanya mengapa para pastor terlibat dalam masalah sosial? Tetapi itu karena Tuhan dan gereja yang saya yakini pada dasarnya bernafas bersama dan menaruh perhatian pada mereka yang terpinggirkan di bagian terdalam dunia,” ucap Peter Kang Uil.
“Kejadian ini sangat mengerikan bagi orang-orang yang bersangkutan. Tidak hanya mempengaruhi masa lalu tetapi juga masa kini dan masa depan,” lanjut prelatus tersebut.
Kekejaman tentara Korea Selatan selama pemberontakan disoroti Gereja Katolik dengan sangat vokal. Pihak Gereja mendesak perdamaian dan rekonsiliasi melalui berbagai saluran.
Paus Fransiskus pada 2018 mengirimkan pesan penyembuhan dan rekonsiliasi kepada warga Korea untuk memperingati 70 tahun Pemberontakan Jeju.
Uskup Peter Kang Uil pada 2017 meluncurkan “Pieta Vietnam” saat itu, patung ibu dan anak, guna mengenang warga sipil Vietnam yang dibunuh tentara Korea Selatan selama Perang Vietnam.
Komisaris Kim Jong Min dalam pidatonya menyoroti insiden mengerikan tersebut dan nasib para korban yang tidak dapat dibayangkan.
“Kita perlu merenungkan seperti apa kehidupan banyak orang yang hidup hari ini,” ungkap Kim Jong Min.
Pemerintah Korea Selatan pada Oktober 2022 mengumumkan paket kompensasi pertamanya sebesar 25,2 miliar won Korea atau 18 juta dolar AS kepada 300 korban. Ini 74 tahun pasca pembantaian tersebut.
Seseorang yang menjadi sasaran pemenjaraan ilegal selama pemberontakan dapat membebankan biaya maksimum 366.400 won per hari kepada pemerintah Korea menurut kebijakan kompensasi.
Para korban yang dipenjara secara tidak sah selama pemberontakan berhak menerima hingga 90 juta won Korea dan mereka dapat menuntut kompensasi tambahan sesudahnya. Ini sebagaimana ditentukan undang-undang khusus. ***