SEKALI lagi saya menulis tentang buku "Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi-Autobiografi H. Harmoko".
Salah satu titik yang menarik dalam buku tulisan almarhum H. Harmoko ini antara lain pendapatnya tentang masa jabatan presiden di era setelah Soeharto lengser dari kursi kepresidenan yang ditongkrongin selama 32 tahun.
Di bawah subjudul "Belajar dari Bung Karno dan Pak Harto", Pak Harmoko menuliskan begini.
"Saya berpendapat, periode kepemimpinan idealnya cukup 10 tahun saja. Kalau sampai lebih, terlalu banyak persoalan yang muncul. Mulai dari kejenuhan terhadap langgam pemerintahan, jarak generasi antara si pemimpin dengan pembantunya, hingga kecenderungan nepotisme dan kronisme," demikian katanya di halaman 590.
"Ihwal kepemimpinan ideal yang hanya dua periode, antara lain saya nyatakan ketika menjabat Ketua DPR/MPR, di samping saya praktikan sendiri semasa menjabat Ketua PWI," lanjutnya.
Di halaman 444, Pak Harmoko juga mencatat dari 88 undang-undang yang diselesaikan DPR selama dua tahun (1997-1999), antara lain adalah UU nomor 28 tahun 1999, yakni tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tentang KKN ini Pak Harmoko dalam buku "Kopi Pagi Bersama Harmoko - Tantangan Pemerintahan 2014 – 2019” dan di bawah subjudul "Tidak Punya Urat Malu", menuliskan kalimat seperti berikut ini.
"Pemberitaan kejahatan korupsi dari hari ke hari terus marak. Seolah korupsi itu hebat, makanya para pejabat di semua lini, anggota DPR, para penegak hukum maupun swasta berlomba ikut kompetisi korupsi. Belakangan ini isu korupsi malah merebak melalui bangunan dinasti kekuasaan." Demikian tulisnya di bulan Oktober 2013.
Bangunan dinasti kekuasaan itu diberi julukan AMPIBI, anak, menantu, ponakan, ipar, besan dan istri.
Apa kata Pak Harmoko tentang dinasti AMPIBI ini adalah tontonan saat ini. (Li Hai)