UNTUK ketigakali saya menulis berlandaskan pada beberapa cuplikan dari buku Autobiogafi H. Harmoko 'Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi'.
Dalam buku yang diluncurkan hari Sabtu, 25 Februari 2023 lalu di Jakarta, pada halaman 256 ada judul berbunyi 'Tentang Petunjuk Presiden'.
Kosakata 'petunjuk presiden' ini oleh banyak orang, terutama di masa pemerintahan Soeharto dilekatkan pada Menteri Penerangan tiga periode H Harmoko.
Di masa sekarang, kosakata itu saya analogkan dengan apa yang pernah dikatakan Jokowi ketika melantik menteri - menteri atau para pembantu lainnya. Ia mengatakan, “Menteri menjalankan visi dan misi presiden, bukan misi dan visi mereka sendiri."
Itu tentu termasuk dalam pernyataan-pernyataan mereka kepada publik. Pernyataan mereka harus dalam rangka menyampaikan misi visi presiden.
Di masa lalu, setiap Pak Harmoko memberi penjelasan kepada wartawan di Istana Kepresidenan (terutama setelah sidang kabinet), dia sering kali melontarkan kata “menurut petunjuk presiden”. Kata ini sering menjadi bahan “ledek-ledekan” di sebagian orang di masyarakat.
“Saya tahu, kalimat tersebut …..sering ditafsirkan lain oleh masyarakat. Seolah-olah apa yang saya lakukan hanya berdasarkan petunjuk. Kesan seperti itu, tentu, boleh-boleh saja,” kata Harmoko dalam tulisannya.
Harmoko menjelaskan, dia sebagai Menteri berkedudukan sebagai pembantu presiden. Presiden adalah Mandataris MPR. Yang bertanggungjawab kepada MPR adalah presiden bukan Menteri.
Maka, solusi dan keputusan sidang kabinet ada di tangan presiden. Menteri Penerangan menyampaikan itu ke masyarakat. Kalau terjadi apa-apa yang bertanggungjawab ke MPR adalah presiden, bukan Menteri.
“Wajar kalau saya mengatakan ‘petunjuk presiden’, karena kenyataannya memang begitu,” kata Harmoko dalam bukunya.
Dalam bukunya Harmoko juga mengatakan, sebagai Menpen, dia banyak memberi penjelasan hasil sidang kabinet kepada wartawan. “Orang yang tidak senang pada saya melesetkan nama Harmoko dengan kepanjangan ‘Hari-hari Omong Kosong’. Orang yang senang bilang ‘Hari-hari Omong Komunikasi ‘ atau ‘Hari-hari Omong Koperasi’,” demikian tulis Harmoko dalam bukunya (halaman 259).