JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kusta hampir tereliminasi tetapi justru membuat lengah. Hal ini menjadikan Indonesia masih berhadapan dengan penyakit tersebut saat ini.
Padahal kasus kusta sudah di bawah 1 per 10 ribu secara nasional pada tahun 2010 adalah kabar yang menggembirakan.
“Lengahnya apa? Dari sisi pembiayaan, dari program prioritas, dan lain-lain sehingga terjadi peningkatan kasus lagi,” ucap Ketua Umum Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) M Subuh dalam lokakarya nasional "Mengapa Masih Ada Kusta di Indonesia?” di Jakarta pada Senin (30/1/2023).
Walau tujuh Provinsi didapati memiliki beban paling besar untuk kusta. Namun bukan berarti tidak ada kusta di sejumlah kota besar. Situasi yang beragam juga menjadikan pemberantasan kusta memiliki cetak biru tersendiri.
Peran Pemerintah Daerah
Dalam hal ini peran Pemerintah Daerah di 514 Kabupaten/Kota di 37 Provinsi diperlukan menurut M Subuh. Baik untuk mengadvokasi, mensosialisasi, mengedukasi, dan membangun kesadaran publik agar peduli kusta.
Pemerintah Daerah harus bisa melakukan upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Termasuk minimal menghilangkan stigma. Karena kehadiran stigma bisa mempersulit penanggulangan kusta.
Di samping itu Pemerintah Daerah harus tetap melaksanakan surveilans atas kusta. Seperti dengan deteksi dini baik di Puskesmas dan sekolah. Hal ini dengan mengacu pada perencanaan pembangunan yang berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) guna peningkatan pelayanan.
“Kalau melihat Permenkes yang ada, kemudian di RPJMN, maka ini menjadi suatu amanat dari rencana pembangunan strategis nasional sehingga harus diadopsi oleh RPJMD,“ terang M Subuh.
Penanggulangan kusta di daerah membutuhkan kepemimpinan dan manajemen. Segala inovasi yang ada tetap berpedoman kepada norma prosedur standar kriteria (NPSK) yang telah dibuat oleh Kementerian Kesehatan. NSPK ini menjadi acuan daerah untuk bisa melaksanakan.
Di samping itu Pemerintah Daerah harus menyediakan anggaran dalam penanggulangan kusta.
Dia melanjutkan,“Khusus untuk kusta ini bisa diinisiasi sejak awal melalui dialog, komunikasi. Baik dengan Bupati, Walikota, DPRD, maupun Bappeda setempat sehingga bisa diidentifikasi permasalahan di masing-masing daerah untuk menganggarkan pendanaan tersebut.”
“Saya kira target berdasarkan realisasi kinerja untuk kusta ini perlu masuk dalam indikator atau pencapaian program sehingga tidak lari dari penganggaran yang ada di masing-masing daerah,” tambahnya. “Dengan adanya indikator pencapaian program yang masuk dalam perencanaan anggaran di daerah maka program ini akan bisa berjalan.”
Hapus Stigma Guna Berantas Kusta
Peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan untuk penanggulangan kusta akan terlaksana dengan baik dapat terlihat jelas dari keberlanjutan programnya.
“Penyakit kusta belum sepenuhnya hilang. Beberapa provinsi masih tinggi. Konsern kami di Adinkes bagaimana upaya kami peningkatan pelayanan,” terang M Subuh.
Kemudian mengurangi stigma yang ada di masyarakat dan Pemerintah Daerah. Ketika Pemerintah Daerah tidak menganggarkan untuk kusta maka tindakan ini merupakan bentuk stigma. Di sisi lain stigma yang muncul dari petugas-petugas kesehatan jangan sampai terjadi.
“Jadi ada tiga stigma yang memang harus kita hilangkan. Stigma dari pemangku kepentingan. Stigma dari petugas kesehatan. Stigma dari masyarakat. Ketiga stigma ini harus dihilangkan kalau mau memberantas kusta di Indonesia,” paparnya.
Lokakarya nasional ini berlangsung untuk memperingati Hari Penyakit Tropis Terabaikan (NTD) 2023. Di samping itu dilakukan penandatangan nota kesepahaman antara Komisi Nasional Disabilitas (KND) dan Yayasan NLR Indonesia di awal acara ini agar membuat isu kusta lebih publik. ***