Kopi Pagi Harmoko: Diam Tak Selamanya Emas

Kamis 26 Jan 2023, 08:32 WIB

“Dituntut keteladanan para elite, kapan momen tepat memberikan pemahaman, memberi pernyataan, kapan pula saatnya diam mendengar dan menyimak suara hati rakyat.” – Harmoko-
 
Diam itu emas. Jika sikap diam dilakukan karena memang dirinya tidaklah paham, sedang fokus mengerjakan tugas, serius bekerja dan mendengarkan.

Lebih baik diam, jika membicarakan keburukan orang lain, menguak aib, menebar kebencian dan permusuhan.

Diam masih menjadi emas, jika tidak membalas cacian, makian, ejekan. Bahkan, ‘diam’ bisa diartikan ‘berlian’, jika sedang menahan amarah, diam untuk menyembunyikan keikhlasan dari hinaan dan fitnahan yang datang bertubi tiada henti.

Tetapi diam tidak lagi emas, boleh jadi perak atau perunggu, jika kita diam saja membiarkan ketidakadilan, kesewenang – wenangan di sekeliling kita.

Manipulasi dan korupsi semakin menjadi, jurang kesenjangan semakin memanjang, rakyat kecil kian terkucil, upaya pembelahan semakin transparan. Oligarki semakin sulit dihindari.

Perlu berpikir jernih dan bersikap kritis,  kapan dan di mana kita harus “diam”, dan saatnya bicara dan bertindak menyikapi keadaan yang terus bergerak dinamis di tengah kian merebaknya trik dan intrik politik.

Di tengah suasana yang masih dilingkupi kabut misteri, penuh dengan ketidakpastian, apa yang akan terjadi kemudian, baik di bidang politik maupun ekonomi.

Kita belum tahu pasti, siapa capres – cawapres yang akan diusung PDIP, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Koalisi Gerindra – PKB, Koalisi Nasdem dengan parpol lain.

Komposisi yang sekarang bisa berubah, boleh jadi akan muncul poros baru. Semuanya baru terjawab setelah resmi pendaftaran capres, September tahun ini.

Begitu pun di bidang ekonomi, kita belum tahu apa yang akan terjadi di semester I dan II tahun ini.

Meski Indonesia dikenal kuat dari goncangan resesi global dengan pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang masih bertengger di atas 5,1 persen, tetapi beragam ancaman masih membentang.

Belum lagi bicara soal pemerataan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang masih menjadi pekerjaan rumah kita.

Berpikir jernih bahwa kondisi perekonomian dunia dalam situasi ketidakpastian, sering disebut sebagai awan gelap akibat pandemi Covid 1-9 sejak tahun 2020.

Belum tuntas pandemi, belum juga pulih ekonomi, sudah disusul dengan perang Rusia – Ukraina yang berdampak kepada ancaman krisis pangan dan energi.

Kondisi terkini, sepertiga ekonomi dunia atau sekitar 70 negara terancam resesi. Sudah 16 negara menjadi pasien IMF, sementara 36 negara lainnya sudah mengantre menjadi pasien. Maknanya keadaan sudah tidak normal. Ini realita yang tidak terbantahkan.

Di dalam  negeri sendiri, sejak pandemi hingga kini sudah cukup banyak karyawan terkena PHK, baik yang selamanya dan sementara.

Angka kemiskinan dan sebagainya yang harus segera dicarikan solusinya. Bukan sebatas bantuan instan sebagai bantalan sosial sementara, tetapi kebijakan yang menopang pondasi dasar sumber penghidupan rakyat kecil.

Jadi yang diutamakan adalah berpikir jernih dalam menyikapi masalah untuk menyelesaikannya seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Berpikir jernih berarti bersih dari emosi negatif, bebas dari prasangka buruk agar terhindar dari persepsi yang salah dalam menyikapi masalah, apalagi mencari-cari masalah dan kesalahan orang lain.

Itulah mengapa kita dituntut berpikir kritis. Berpikir secara konseptual dan rasional, dengan mengedepankan logika.
Kita pun tak boleh menyerah, tak boleh diam tanpa berbuat sesuatu ketika masalah ada di sekeliling kita, menimpa saudara- saudara kita yang tidak berdaya karena terdampak situasi ekonomi.

Kalau kemudian terdapat perbedaan penafsiran dalam menyikapi permasalahan, bukan lantas diperdebatkan tidak karuan. Jika sudah demikian,  yang didapat bukan solusi yang penuh arti, tetapi berebut gengsi dan harga diri yang tiada henti.

Agar beda penafsiran tidak meruncing, solusi harus segera tersaring. Agar beda pandangan tidak melebar, solusi segeralah ditebar. Kuncinya ada pemahaman dan pengertian yang sama bagi kita semua. 

Tak kalah pentingnya pemahaman yang sama antara pejabat dan rakyat dalam merespons situasi.

Dituntut keteladanan para pejabat, penguasa, elite memberikan pemahaman yang menyejukkan dan memuaskan semua pihak, bukan sebagian pihak.

Kapan momen memberikan pemahaman, kapan pula saatnya diam mendengar dan menyimak suara rakyat.

Kita tentu tidak ingin elite yang banyak bicara, memberi pernyataan, tetapi bukan pemahaman yang didapat oleh rakyat, malah kian membingungkan. Banyak bicara tanpa fakta, bagaikan “Kakehan gludhug, kurang udan”. (Azisoko).
 

Berita Terkait

Safari dan Aspirasi Politik 

Kamis 16 Feb 2023, 09:42 WIB
undefined
News Update