KERUSUHAN di pabrik perusahaan tambang nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara (Morut), Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Sabtu (14/1/2023) malam mencuatkan banyak spekulasi.
Bentrokan yang mengakibatkan tewasnya pekerja asli Indonesia dan pekerja asal China tersebut ada yang mengaitkan dengan 'perang' ekonomi antara Barat dan China. Benarkah?
Kronologi yang disampaikan serikat buruh di Morowali Utara menyebutkan bahwa peristiwa berdarah itu sebenarnya berakar dari insiden pada akhir 2022.
Di penghujung tahun, dua pekerja lokal meninggal dunia karena kecelakaan kerja di pabrik PT GNI. Penyebabnya listrik mati, tungkunya meledak dan mereka tidak bisa melompat karena posisi sangat tinggi.
Kronologi lain mengungkapkan bahwa TKA China menyerang buruh Indonesia.
Lebih ekstrim lagi, ada yang memaparkan gerombolan teror dan terorganisir (GTT) menyusup ke para buruh dalam pabrik. Mereka berhadapan dengan tentara merah yang menyatu jadi TKA China.
Demikian kabar dunia medsos yang beredar kencang. Kelompok GTT memaksa menghentikan operasi mesin. Namun aksi ini tidak dibiarkan oleh TKA China. Sehingga terjadi bentrok fisik tak terhindarkan.
Terkait GTT, ada analisis global yang mengaitkan dengan dihentikannya ekspor nikel mentah Indonesia ke negara Blok Barat. Di antaranya ke Uni Eropa, Jepang dan Amerika.
Akibat penghentian ekspor, maka puluhan atau ratusan pabrik smelter di negara-negata tersebut ditutup.
Karena tidak mendapat pasokan bahan baku mentah biji nikel lagi, ratusan atau ribuan buruh terancam di PHK dan investasi miliaran dolar menjadi mubazir.
Seperti diketahui, PT GNI merupakan pabrik pengolahan biji nikel menjadi bahan baku baterai. Nikel menjadi salah satu sumber daya alam Indonesia yang menjadi rebutan banyak negara.
Sejak Presiden Jokowi membatasi ekspor nikel, tak hanya membuat berang negara-negara Barat. Tapi juga menciptakan musuh di dalam negeri sendiri.
Terutama mereka yang selama ini masuk dalam zona nyaman dari jual beli bahan baku mesin bertenaga listrik itu.
Apalagi di masa mendatang, ketika bahan bakar fosil sudah menipis, listrik menjadi andalan. Bahan bakunya tentu saja nikel.
Negara percaya pada China untuk mengolah biji nikel menjadi bahan baku baterai. Tentu saja tidak gratis. Indonesia butuh transfer teknologi. Dan China mau.
Negara-negara Barat sejak jaman dulu menolak memberikan ilmu mengolah nikel menjadi tenaga listrik. Negara Barat hanya mau mengeruk kekayaan alamnya saja.
Tapi benarkah China juga mau memberikan teknologi pengolahan biji nikel menjadi baterai.
Toh pada kenyataannya pemerintah Jokowi memberikan kesempatan pada China untuk membangun pabrik di Morowali tersebut.
Cilakanya, belakangan ini, pabrik itu porak poranda akibat kerusuhan. Media sosial pun ramai dengan beragam dugaan di balik kerusuhan yang membenturkan TKA China dan TKI.
Negara Barat dimotori Amerika dan Jepang didukung WTO telah nyata menjatuhkan sanksi ke Indonesia.
Mereka berharap dapat diuntungkan jika pabrik smelter nikel di Indonesia berhenti beroperasi dan terpaksa kembali mengekspor bahan mentah biji nikel seperti dulu. (Kurniawan)