“Guyub rukun sebagai jati diri bangsa semakin jauh dari harapan, selama masih ada upaya tersembunyi, lebih - lebih terang – terangan dengan membenturkan kepentingan demi target politiknya, kelompoknya dan institusinya” – Harmoko
Tahun ini sering disebut sebagai tahun penuh tantangan. Tak hanya karena memasuki tahun politik yang berpotensi menimbulkan gesekan dan benturan kepentingan. Secara ekonomi, juga tidak menguntungkan karena awan gelap resesi global yang masih menjadi ancaman dunia, termasuk negeri kita.
Kita tahu benturan kepentingan merupakan suatu kondisi, dimana pertimbangan pribadi lebih mendominasi, setidaknya akan menyingkirkan profesionalitas, jika dia seorang pejabat negeri, pejabat publik, pemimpin, penguasa ataupun pengambil dan pelaksana kebijakan.
Kita dapat menduga kebijakan seperti apa yang akan diterapkan, jika dalam merumuskan diwarnai adanya adanya vested interest (kepentingan pribadi) dan
hubungan afiliasi ( persaudaraan, pertemanan, kesukuan dan ikatan kelompok lainnya).
Kebijakan seperti ini tentu akan menghasilkan pembedaan perlakuan dan diskriminasi akan memudarkan kerukunan yang berujung kepada benturan dan gesekan sebagai embrio perpecahan.
Ini menjadi ancaman nyata, lebih – lebih jika benturan kepentingan sudah menyebar di lapisan grassroot ( akar rumput) yang dibumbui dengan narasi akibat beda aspirasi politiknya, beda dukungan dan beda pilihan.
Jika sudah demikian, boleh jadi, solidaritas sosial sebagai kekuatan sosial kita hanya kenangan, guyub rukun hanya sebatas slogan.
Pepatah " Holopis kuntul baris", sebuah ajakan untuk saling bahu membahu, tolong menolong mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi secara bersama – sama, seperti dipesakan para pendiri bangsa, founding fathers, hanya tinggal ungkapan.
Padahal di era sekarang ini semakin dibutuhkan solidaritas sosial.Kerja bersama tanpa prasangka dalam membangun kerukunan di tengah potensi kian masifnya benturan akibat perbedaan kepentingan politik.
Peribahasa Jawa menyebutkan “saiyeg saeka praya, bebarengan mrantasi gawe” - bekerja serentak dan bersama - sama menyelesaikan persoalan sebagaimana disimbolkan “kuntul yang sedang berbaris”.
Kuntul menjadi simbol karena, konon, burung sawah ini bisa berbaris membentuk harmoni melambangkan guyub dan rukun. Burung kuntul duduk sejajar, berdiri setara dan sebaris bagaikan menyelaraskan kepentingan, memantapkan soliditas dan solidaritasnya membangun kekuatan sebelum bersama – sama terbang tinggi menggapai cita – cita.
Simbolisasi yang kini sangat dibutuhkan membangun negeri untuk mewujudkan kesejahteraan sosial sebagaimana tujuan negeri ini didirikan seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Sejahtera adalah aman, sentosa,makmur, selamat ( terlepas dari segala macam gangguan dan kesusahan). Sedangkan sosial berkenaan dengan masyarakat, termasuk kepedulian dan perhatiannya kepada masyarakat.
Dengan begitu kesejahteraan sosial adalah keadaan dimana masyarakat memperoleh kebutuhan material, spiritual dan sosial secara baik. Bisa hidup layak dan mampu untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki secara maksimal yang memungkinkan fungsi sosial sebagai manusia dapat terpenuhi.
Tak heran jika istilah kesejahteraan sosial sering diidentikkan dengan “kesejahteraan masyarakat atau kesejahteraan umum”.
Kita tahu bahwa kesejahteraan umum merupakan kewajiban negara untuk mewujudkannya seperti telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Menjadi bahan renungan, bagaimana cita – cita negeri dengan mudah dapat diwujudkan, jika di lapisan akar rumput makin dirasakan adanya benturan kepentingan politik.
Ironi! Jika sampai ada elite dengan sengaja, melalui rekayasa membenturkan kepentingan politiknya. Beda ideologi, aspirasi, dukungan dan pilihan dibenturkan untuk menggapai tujuan. Bahkan, beda pandangan, pernyataan dan sikap pun dikemas sehingga terjadilah benturan.
Sepanjang masih ada upaya tersembunyi membenturkan kepentingan, demi target politiknya, kelompoknya, partainya, institusinya, maka guyub rukun sebagai jati diri bangsa, akan semakin jauh dari harapan.
Yang terpampang kemudian adalah “conflick of interest” yang bisa menyemai kepada konflik fisik dan sosial.
Mari kita membentuk harmoni dengan menyelaraskan kepentingan, bukan membenturkan kepentingan seperti disimbolkan burung kuntul sebelum terbang tinggi menggapai cita – cita.
Maknanya mari kita tetap guyub rukun dengan tidak melihat latar belakang kepentingan, tetangga sebelah dari parpol mana, dari kelompok mana, relawan siapa dan dari mana. Ini jika kita sudah bertekad bersatu membangun negeri. (Azisoko).