JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Penyandang disabilitas, baik akibat kusta atau ragam disabilitas lainnya, masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi.
Seseorang yang telah dinyatakan sembuh dari kusta terus dianggap berstatus atau penyandang kusta. Hal ini melekat sehingga berdampak pada hal lain.
Seseorang yang pernah mengalami kusta akan mengalami gangguan dalam hidupnya. Seperti gangguan kesejahteraan psikologis, gangguan hubungan sosial, dan masalah dengan lingkungan sekitar sehingga sulit kembali ke masyarakat.
Keterbatasan dan kurangnya dukungan sosial menandakan sulitnya pemenuhan hak hidup penyandang disabilitas dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK).
Hal ini mendorong Mimi Institute berfokus mengarusutamakan disabilitas untuk kehidupan yang lebih baik. Lembaga yang hadir pada 2009 ini ingin menciptakan interaksi masyarakat dengan penyandang disabilitas.
“Kami ingin membiasakan masyarakat berinteraksi dengan kawan-kawan komunitas disabilitas,” ucap Direktur Mimi Institute Maryani Rusli.
Beragam programnya antara lain konsultasi, edukasi untuk anak dan remaja berkebutuhan khusus, hingga kegiatan publikasi seperti penulisan buku dan modul.
Guncangan Psikologis
Para penyandang disabilitas, termasuk orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), kerap kali berkonsultasi dengan Mimi Institute.
Mereka datang untuk konseling, mengenali kebutuhannya, dan penyadaran hak asasinya.
“Karena ketika seseorang mengalami disabilitas langsung syok. Stigmatisasi atas diri sendiri spontan muncul. Baik akibat kusta maupun bukan,” terang Maryani Rusli seperti dikutip dari dari Youtube KBR dalam program yang dipersembahkan NLR Indonesia, lembaga yang konsern pada isu kusta dan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Dia menerangkan guncangan psikologis ini bisa dipicu akibat pengetahuan yang kurang maupun informasi yang salah. Seperti soal kusta dianggap kutukan dan tidak bisa disembuhkan. Hal ini membentuk warisan yang negatif.
Akibatnya, terjadi ejekan dan pengucilan. Sementara yang mengalami kusta takut dan malah menarik diri.
Pemahaman yang keliru ini menjadi penyebab munculnya stigma sehingga akhirnya berdampak pada kejiwaan.
Di samping itu guncangan bisa muncul akibat masalah disabilitas lain. Seperti seseorang yang mengalami stroke sehingga merasa ruang geraknyanya menjadi serba terbatas.
“Stroke membuat aku tidak bisa lagi jalan. Aku tak lagi berguna. Lalu buat apa? Nanti keluarga akan merasa repot dengan saya,” renungnya.
Maryani Rusli menuturkan beragam hal ini akan memunculkan gangguan psikis pada kelompok disabilitas, baik akibat kusta atau ragam disabilitas lainnya.
“Kadang-kadang ini bisa mengakibatkan kehilangan hak. Apalagi kalau stigmatisasi itu muncul dari masyarakat yang justru mempertebal stigma dalam diri masing-masing,” ujar dia.
Walaupun sudah mencoba kuat tetapi masyarakat, pemerintah, lembaga, kebijakan, dan peraturan justru tidak berpihak. Ini menambah kecemasan dan stres terhadap masa depan.
Mengupayakan Persiapan
Maryani Rusli mengatakan guncangan psikologis akibat disabilitas perlu dihadapi dengan persiapan. Karena syok tersebut muncul akibat tiada persiapan.
Dia mencontohkan hasil pemeriksaan medis yang menyebutkan sebuah penyakit mengakibatkan seseorang tidak bisa lagi berjalan.
“Ini tidak disiapkan bahwa bisa melakukan hal lain walaupun seseorang berjalannya menggunakan kursi roda. Ketika dokter memberitahu penyakit mengakibatkan kebutaan tidak disiapkan orangtuanya agar bisa membawa anaknya ke sekolah luar biasa guna belajar braile, belajar hidup dengan kondisi tidak melihat. Saya pikir kalau ini ada, referal dari sistem kesehatan ke sistem konseling, ini akan lebih menolong.”
Di samping itu dari sisi hukum membutuhkan pembenahan agar pemenuhan hak komunitas disabilitas bisa diwujudkan.
“Undang-Undang terkait pemenuhan hak komunitas disabilitas cukup banyak. Hanya mungkin dari sisi implementasi dan monitoring perlu dibenahi sehingga perlindungan hak-hak penyandang disabilitas optimal,” pungkasnya. ***