“Bangsa akan besar atau menjadi besar, jika memiliki karakter kuat yang bersumber dari budaya luhur, nilai - nilai yang digali dari budaya masyarakatnya, bukan menjiplak budaya asing,” - Harmoko-
Sejak zaman dulu, dunia mengakui dan mengagumi Nuswantara dengan beragam kekayaan yang dimilikinya. Tak hanya kesuburan tanahnya, sumber daya alamnya yang melimpah ruah, juga keunggulan SDM serta adat dan budaya bangsa yang tiada duanya.
Ini potensi negeri yang sering kali membuat iri hingga ingin menguasai, setidaknya banyak negara hendak menjadi mitra kerja sama untuk membangun bangsanya.
Kekayaan alam yang kita miliki ini sebuah anugerah, akan tumbuh dan berkembang jika tepat mengelolanya. Tapi, bisa hilang, jika menyia - nyiakannya dan salah mengemasnya. Begitu pun dengan adat budaya bangsa dan sumber daya manusia.
Disinilah perlunya kesadaran untuk merawat dan menjaganya, serta melestarikannya dengan secara maksimal mengembangkan potensi bangsa dan potensi diri yang pada dasarnya sudah besar dan agung karya Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
Anugerah illahi ini wajib kita syukuri, sayangnya kadang salah memaknai, hanya dengan menikmati untuk kepuasan diri sendiri hingga habis tak tersisa tinggal ampasnya.
Kita sering menyaksikan bagaimana pengelolaan sumber daya alam tanpa perencanaan matang, hanya memenuhi ambisi politik dan bisnisnya hingga menyisakan kerusakan lingkungan bagi anak – anak, cucu dan cicit kita kelak. Ingat! Anugerah itu amanah yang hendaknya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, demi rakyat, bukan untuk kepentingan kerabat pejabat dan konglomerat.
Potensi negeri mestinya dikembangkan untuk membangun kemandirian agar negeri kita tidak memiliki ketergantungan dengan negara lain. Kemandirian pangan, energi dan ekonomi. Ini menjadi sangat penting, lebih –lebih di era sekarang ini, di tengah berbagai ancaman krisis energi, pangan dan ekonomi keuangan.
Kita harus bergerak cepat mengantisipasi keadaan, bukan mengandai –andai apa yang terjadi, sementara, katanya, tidak tahu apa yang bakal terjadi karena awan dunia yang masih gelap.
Menebar horor resesi bukan mengubah keadaan, bukan pula menyelesaikan masalah, boleh jadi akan menambah luas masalah.
Para leluhur kita sudah menerapkan bagaimana mengatasi keadaan dengan memperhatikan tanda - tanda, bahkan bisa memprediksi apa yang terjadi sehngga sejak awal dapat mengantisipasi. Dalam hal bencana alam misalnya, bisa memaknai tanda- tanda alam, sering disebut sebagai mitigasi bencana. Begitu juga mitigasi di bidang politik dan ekonomi.
Cukup beralasan, jika kita sebagai penerus bangsa, pemegang estafet kepemimpinan di segala level, menggali kembali ilmu pengetahuan para leluhur yang pernah membuat bangsa ini berdikari, tentu dipadukan dengan teknologi yang ramah lingkungan. Contoh untuk kemandirian pangan yang memanfaatkan sumber daya alam negeri kita adalah biosoka.
Masih banyak kreativitas hasil karya lainnya dari para anak negeri untuk membangun kemandirian pangan, energi dan kekuatan ekonomi. Negara wajib hadir memfasilitasi, memberikan dukungan, tak hanya anggaran, juga keteladanan.
Ini penting mengingat generasi era kini tak butuh doktrin, pengarahan, ceramah, tetapi contoh aksi nyata dari sosok yang merasa dirinya elite politik dan pemerintahan.
Kita memiliki keunggulan SDM dengan jumlahnya, kini tercatat sudah 275 juta jiwa. Tugas besar kita adalah bagaimana menciptakan keunggulan SDM yang kualitasnya tidak hanya sejajar dengan bangsa lain, tetapi harus lebih baik karena bangsa kita memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki bangsa lain yaitu Pancasila dan kearifan budaya warisan leluhur.
Potensi adat budaya, kearifan lokal di bidang pangan, energi, dan kekuatan ekonomi, jika dikemas sedemikian rupa akan menjadi keunggulan bangsa kita di dunia karena keunikannya, ciri khasnya yang tiada duanya, sehingga mampu menguatkan dan meningkatkan sel tubuh seluruh rakyat Indonesia.
Ini perlu ada kekuatan besar sebagai pendorong melalui aksi nyata yang ditularkan dan diteladankan oleh para pejabat negeri di semua tingkatan, mulai dari kepala negara hingga abdi negara siapa pun dia.
Mari kita pupuk kearifan lokal sebagai potensi negeri yang merupakan modal pembentukan karakter luhur. Bangsa akan besar atau menjadi besar, jika memiliki karakter kuat yang bersumber dari budaya luhur, nilai - nilai yang digali dari budaya masyarakatnya, bukan menjiplak budaya asing, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dalam peribahasa Jawa dikenal juga "Deso mowo coro, negoro mowo toto” - yang artinya “Desa memiliki adat, negara memiliki aturan ”. Makna lebih luas lagi, desa memiliki tradisi budayanya masing-masing, memiliki kondisi budaya yang terbangun sejak dulu, secara turun temurun dan membentuk karakter bangsa. Itu perlu dijaga sebagai potensi bangsa. (Azisoko)