JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sudah mau genap dua bulan sejak kasus "Baku Tembak" di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Komplek Polri, Jakarta Selatan menjadi kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Namun sejak awal hingga kini, terus dibuat skenario-skenario kebohongan termasuk perusakan alat-alat bukti di lokasi terjadinya pembantaian terhadap Joshua dilakukan Ferdy Sambo dan istrinya.
Meski klaim pelecehan seksual sudah dipatahkan sejak dikeluarkannya SP3 pelaporan oleh Putri Candrawathi, namun skenario baru diduga kembali dilakukan Sambo dan istrinya.
Nggak tanggung-tanggung, kini mereka menggunakan Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk kembali membuat skenario lain.
Aktifis Perempuan Irma Hutabarat mengingatkan bahwa saat ini sudah memasuki bulan kedua kasus kematian Brigadir J. Dan ceritanya balik ke awal lagi.
"Jadi Kepolisian Republik Indonesia jangan main-main. Kalau sekarang main-mainnya mengajak Komnas HAM dan Komnas Perempuan, tidak berarti kebohongan yang direkomendasikan oleh lembaga itu bisa jadi kebenaran. Karena sumbernya pembohong, pembunuh berencana dan orang yang telah membuat laporan palsu obstruction of justice dan membayar orang untuk membunuh," ucap Irma seperti dikutip dari wawnacara di TVONE beberapa hari lalu dan kembali diunggah akun TikTok @dioysius.
Dengan adanya kalimat main-main, mantan presenter ini membenarkan indikasi itu. Sebab, yang namanya lembaga negara itu dibayar negara.
"Dan jangan main-main, rekomendasi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan dicatat sebagai dokumen negara yang akan dibaca oleh seluruh bangsa ini. Sampai kemudian saya mati pun nanti akan dibaca anak cucu kita bahwa pernah suatu ketika pada tahun 2022 bahwa Komnas HAM dan Perempuan memberikan rekomendasi dari Kuat Maruf, Ferdy Sambo, omongan dari Putri Candrawathi. Nanti ditanya siapa mereka itu? mereka adalah pembunuh berencana," papar Irma.
Irma mengatakan bahwa tidak pernah terjadi dalam sejarah republik ini seorang polisinya polisi yang melibatkan begitu banyak orang membuat kebohongan bersama menutupi kejahatan pembunuhan berencana.
"Sudah sejak dari awal, kita sudah dibohongi secara terang-terangan tuh. Duren Tiga, Pelecehan seksual, ketika itu gugur, masa' iya itu akan diulang lagi. Ini pelecehan nalar," ujarnya.
Apalagi, lanjut Irma, ada kejadian di Magelang dua bulan lalu, kini menjadi perkosan.
"Beda banget pelcecehan seksual dan perkosaan. Kalau perempuan diperkosa itu setengah mati, mau buka bajunya aja susah. Pasti akan melawan, pasti akan ada tanda-tanda kekerasan. Dan satu lagi, mana mungkin orang yang habis memperkosa berada satu mobil, kemudian Joshua masih membawakan barang-barang oleh Joshua," ungkap Irma.
Irma kembali mengingatkan bahwa Putri Candrawathi menjanjikan 1 miliar kepada Bharada E untuk membunuh.
"Saya tadinya punya harapan karena Kapolri sudah bicara di depan parlemen. Tapi dengan caranya membawa lembaga-lembaga negara yang sangat kacau rekomendasinya, maka harus dipertanyakan. Dari mana Komnas HAM dan Perempuan membuat pengumuman, yang proses di belakangnya kami ingin tahu, buktinya tidak ditunjukan," jelasnya.
Kedua lembaga negara itu perlu dipertanyakan apakah ada bukti mereka sudah berbicara sama Putri. Karena setahunya, setelah bicara sama Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Putri Sambo itu telah mengambil semua handphone ajudannya dan diganti pada tanggal 10 Juli atau dua hari setelah kematian Brigadir J.
"Apa iya seorang korban mau lagi menghilangkan barang bukti. Jadi saya pikir sudah kelewatan. Sudah tidak ditahan dan itu menyinggung rasa keadilan masyarakat, kemudian Putri diberi kesempatan untuk berbohong, melakukan obstruction of justic dan kemudian melakukan rekayasa-rekayasa yang lain," paparnya.
Kalau memang menggunakan sumber dokter atau psikolog, Irma mengatakan bahwa mereka juga bisa diajak berbohong.
"Lembaga negara saja bisa diajak berbohong. Jadi kita ini dibuat percaya seolah-olah bahwa yang mengatakan itu adalah psikolog forensik. Ketika saya bicara dengan IDI, kalau orang depresi atau stres itu assesment yang benar. Dilihat kelakuannya selama 24 jam pakai CCTV, dicatat. Jadi bukan karena psikolog ngomong, kemudian dijadikan rekomendasi lembaga kedua lembaga negara, Komnas HAM dan Komnas Perempuan," tandasnya.