ADVERTISEMENT

Kekerasan di Lembaga Pendidikan, Peneliti: Padahal Sudah Ada Peraturan Menteri

Senin, 25 Juli 2022 10:00 WIB

Share
BRIN
BRIN

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kekerasan di lembaga pendidikan dalam beberapa tahun terakhir memang mencuat. Tetapi bukan isu yang baru tiba-tiba muncul.

Keterangan ini disampaikan Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anggi Afriansyah.

Dia mengakui kehadiran media sosial makin mempercepat penyebaran isu kekerasan di lembaga pendidikan.

Dulu orang tidak terlalu mengetahui atau paham soal isu kekerasan di lembaga pendidikan karena informasi yang tersiar tidak terlalu terbuka seperti sekarang.

Di samping itu lembaga pendidikan belum bisa menangani masalah kekerasan di lingkungan mereka sendiri.

Anggi Afriansyah menilai isu kekerasan di lembaga pendidikan hanya menjadi kontroversi ketika ada satu kasus yang mendapat sorotan masyarakat secara luas.

"Tetapi kemudian upaya preventifnya saya lihat memang sangat sulit dan tampaknya agak lamban dideteksi. Baik oleh institusi pendidikan, institusi berbasis agama atau pun di keluarga sendiri. Jadi orang baru tahu ada peristiwa tindak kekerasan ketika ada korban," ujarnya seperti dikutip dari VOA pada Minggu (24/7/2022).

Padahal sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kekerasan di Sekolah bertujuan untuk menciptakan sekolah aman dan nyaman. Lalu ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Kedua aturan tersebut sudah disosialisasikan ke lembaga-lembaga Pendidikan. Tetapi pelaksanaannya sangat bergantung pada ruang lingkup pendidikan masing-masing. Selain itu sangat problematik ketika guru terlibat dalam tindakan kekerasan atau banyak pembiaran seperti dalam kasus perundungan atau bullying.

Guru atau orang yang justru dihormati adalah pelaku kekerasan di lembaga Pendidikan sulit dipercaya dalam banyak kasus. Hal ini terjadi antara lain karena mekanisme kontrol terhadap guru kurang. Apalagi guru diyakini banyak orang tidak mungkin melakukan perbuatan tercela.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT