JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menjelaskan alasan pemerintah resmi menaikkan tarif listrik bagi pelanggan dengan daya mulai dari 3.500 VA pada 1 Juli 2022.
“Ada beberapa asumsi makro yang memengaruhi kenapa penyesuaian tarif listrik ini perlu dilakukan, karena kita tidak bisa mengontrol seperti kurs, ICP (Indonesia Crude Price), inflasi, dan harga coal juga memengaruhi," kata Rida dalam konferensi pers secara virtual pada Senin (13/6/2022).
Sementara, kata Rida, yang paling memengaruhi pertimbangan kenaikan tarif listrik ini di antara empat asumsi makro tersebut yakni harga minyak mentah dunia yang sudah melebih angka USD 100 per barel, sementara asumsi di APBN 2022 awal tahun hanya USD 63 per barel.
Di sisi lain, realisasi rata-rata kurs sebesar Rp 14.356 per dollar AS atau lebih tinggi dari asumsi semula yang sebesar Rp 14.350 dollar AS. Lalu, realisasi inflasi sebesar 0,53 persen dari asumsi semula sebesar 0,25 persen.
Bahkan, harga patokan batu bara tercatat mencapai Rp 837 per kilogram karena telah diterapkan capping harga, realisasi rata-rata harga batu bara acuan (HBA) di bawah 70 dollar AS per ton.
"Kemudian kita memerlukan adjustment untuk sharing burden dan sekaligus mengoreksi bantuan pemerintah tadinya terus diterima oleh yang menikmati, tapi kita perlu mengoreksi untuk lebih sasaran dan berkeadilan," katanya.
Berikut rincian tarif listrik untuk rumah tangga R2 dengan daya 3.500 VA hingga 5.500 VA dan R3 dengan daya 6.600 VA ke atas tarifnya disesuaikan dari Rp 1.444,70 per kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh, dengan kenaikan rekening rata-rata sebesar Rp 111.000 per bulan untuk pelanggan R2 dan untuk pelanggan R3 sebesar Rp 346.00 per bulan.
Selain itu, untuk pelanggan pemerintah P1 dengan daya 6.600 VA hingga 200 kVA dan P3 tarifnya disesuaikan dari Rp 1.444,70 per kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh, dengan kenaikan rekening rata-rata sebesar Rp 978.000 per bulan untuk pelanggan P1 dan Rp 271.000 per bulan untuk pelanggan P3.
Sementara, pelanggan pemerintah P2 dengan daya di atas 200 kVA tarifnya disesuaikan dari Rp 1.114,74 per kWh menjadi Rp 1.522,88 per kWh, dengan kenaikan rekening rata-rata sebesar Rp 38,5 juta per bulan.
Sementara itu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan sejak tahun 2017, tidak pernah ada kenaikan tarif listrik untuk seluruh golongan tarif pelanggan. Untuk menjaga tidak ada kenaikan tarif listrik, pemerintah telah menggelontorkan subsidi listrik sebesar Rp 243,3 triliun dan kompensasi sebesar Rp 94,17 triliun sejak tahun 2017 hingga 2021.
Namun, dalam proses pelaksanaannya, alokasi biaya kompensasi listrik dari pemerintah tidak tepat sasaran, yaitu malah dinikmati oleh keluarga mampu dengan daya di atas 3.500 VA. Sepanjang tahun 2017 hingga 2021, total kompensasi untuk kategori pelanggan tersebut mencapai Rp 4 triliun.
Lanjut Darmawan, saat ini pelanggan PLN subsidi dengan daya listrik di bawah 3.500 VA terdapat 74,2 juta orang. Namun, ia mengatakan untuk golongan tersebut serta bisnis dan industri kecil-menengah tidak mengalami perubahan tarif listrik. Termasuk pula pada pelanggan golongan bersubsidi tidak terkena penyesuaian tarif listrik.
Menurut dia, pemerintah berkomitmen melindungi masyarakat dengan tetap memberikan subsidi listrik kepada yang berhak. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
"Penerapan kompensasi dikembalikan pada filosofi bantuan pemerintah, yaitu ditujukan bagi keluarga tidak mampu. Ini bukan kenaikan tarif. Ini adalah adjustment, di mana bantuan atau kompensasi harus diterima oleh keluarga yang memang berhak menerimanya," kata Darmawan.