JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sastrawan sekaligus wartawan, Akhmad Sekhu masih terus berkarier di bidang karya sastra.
Ia telah melahirkan beberapa karya, mulai dari cerpen hingga puisi, yang dimuat di berbagai media massa.
Beberapa cerpen yang dihasilkannya, antara lain Lelaki Jempolan, Sujud Terlama di Dunia, Kotokowok, Teror Dodol, Sedekat Mei Juni, dan lain-lain itu hingga sekarang masih eksis di pasaran.
"Saya serius nulis karya sastra sejak tahun 1994 saat mulai kuliah di Yogyakarta jadi sudah sekitar 28 tahun menggeluti dunia seni," tutur Akhmad Sekhu, Minggu (15/05/2022).
Pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 27 Mei 1971 ini menerangkan jika dirinya melahirkan karya sastranya berupa puisi, cerpen, hingga novel.
"Pada mulanya saya menulis puisi, setelah itu esai, cerpen, dan novel," tambah Sekhu.
Sekhu sudah menganggap dunia sastra sebagai hal yang mendarah daging dalam hidupnya.
Hal tersebut dibuktikan dengan pemilihan nama yang diberikan untuk kedua anaknya, yaitu Fahri Puitisandi Arsyi, dan Gibran Noveliandra Syahbana.
Kedua anak hasil pernikahannya dengan Wanti Asmariyani mengandung unsur sastra yang kuat.
Menurut Sekhu, puisi merupakan karya sastra yang menjadi keistimewaan tersendiri.
Lewat puisi, ia bisa bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Bahkan, buku puisi keduanya yang berjudul 'Cakrawala Menjelang' mendapat kata sambutan khusus dari orang nomor satu di Jogja tersebut.
"Karena puisi, saya bisa bertemu dengan orang nomer satu di Jogja, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang secara khusus mengundang saya untuk bicara empat mata. Sebuah kehormatan bagi saya mendapat sambutan khusus dari beliau," tegasnya.
"Jika kita baca puisinya, terasakan betapa sarat akan teks ilahi dan tekstur alami. Mungkin berakar dari desa kelahirannya di Jatibogor, Suradadi, Tegal-yang dipenuhi oleh budaya pesisiran yang islami. Sebagai penyair, Akhmad Sekhu adalah seorang otodidak, jika dilihat dari latar pendidikannya," demikian kutipan kata sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam buku berjudul 'Cakrawala Menjelang' milik Sekhu.
Tidak hanya Sri Sultan Hamengku Buwono X, buku puisi pertama Sekhu yang berjudul 'Penyeberangan ke Masa Depan' juga diberi kata pengantar oleh Piek Adijanto Soeprijadi, seorang Guru SMA Negeri 1 Tegal yang juga termasuk tokoh sastrawan Angkatan 66.
Hari Puisi Nasional Diperingati Setiap 28 April, Ini Sejarahnya
Sekhu menyampaikan ia sedang mempersiapkan buku puisi ketiganya yang berjudul Memo Kemanusiaan yang mendapat sambutan dari berbagai kalangan.
Sambutan itu datang dari wartawan dan budayawan Bens Leo (alm), artis Cinta Laura Kiehl, dan artis senior Titiek Puspa.
"Perihal Memo Kemanusiaan karya Bro Akhmad Sekhu. Salah satu karakter kuat buku karya jurnalis, apa saja bentuknya. Biografi orang lain, biografi personal, esai, atau kumpulan puisi, atau novel sekalipun, selalu terlihat ada jejak jurnalisme. Juga karya Bro Akhmad Sekhu, jurnalis yang aktif menulis buku," tulis Bens Leo (alm).
"Setelah membaca puisi dalam buku Memo Kemanusiaan karya Akhmad Sekhu ini, aku jadi mengerti lebih dalam mengenai dunia seni yang tidak hanya melulu hingar bingar musik, lagu dan tari tarian yang indah, akan tetapi ada juga puisi yang isinya sangat bermakna dan langsung menusuk dada. Sungguh indah puisi-puisi di buku ini, juga penuh arti dan sangat mendidik," tulis Cinta Laura Kiehl.
"Saya mengapresiasi dan menyambut baik, penerbitan buku Memo Kemanusiaan karya Akhmad Sekhu ini. Banyak sekali tema di dalamnya, mulai tema Pandemi Covid-19 mengenai tenaga kesehatan sang pejuang kemanusiaan, hikmah dari pandemi, kita harus selalu cuci tangan, berjemur, hingga kita harus vaksin, sampai puisi menyinggung korupsi di tengah bansos pandemi yang sangat memilukan, kok tega sekali korupsi di tengah penderitaan masyarakat," pungkas Titiek Puspa.
Tak hanya itu, Akhmad Sekhu juga memiliki banyak karya sastra lainnya yang telah diterbitkan atau dibukukan. (*/mia)